Saturday 21 March 2020

Review Kastil Karya Franz Kafka


Judul Buku : Kastil
Penulis        : Franz Kafka
Penerjemah : Aa Ismanto
Penyelaras Akhir : Rain
ISBN               : 978-602-391-505-7
Tebal              : 460 halaman

Kastil disiapkan untul publikasi setelah kematian Kafka oleh Max Brad dan diterbitkan oleh Kurt Wolff Verlag di.Munich pada tahun 1926. Teks ini berhenti di peristiwa saat K meninggalkan Frieda merawat Jeremias di Herrenhof.
Buku karya Franz Kafka, penulis yang dikenal dengan tulisan absurdnya ini diterbitkan setelah kematian Kafka.

Kutipan di atas kuambil dari cover belakang novel Kafka yang bersampul  putih ini. Novel yang menurutku lumayan tebal.

Tulisan Kafka ini menarik perhatianku karena tulisan Kafka yang pernah kubaca saat kuliah dulu. Metamorphosis. Meski aku tak begitu paham dengan maksud yang tersirat di balik cerita-cerita Kafka, aku baca saja. Paling tidak, aku dapat menambah khazanah perbendaharaan kata-kataku.

Sementara Metamorphosis berkisah tentang Gregor Samsa, seorang salesman yang terlepas dan terbuang dari lingkungannya, Kastil bercerita tentang K dan persinggungannya dengan karakter lain yang penuh gejolak. Tentang usaha K mencari jati dirinya di antara perjalanannya menuju Kastil.

Novel yang menggunakan sudut pandang orang ketiga ini menggambarkan tentang sifat manusia yang lemah. Ketidakteguhan yang membuatnya berusaha mencari pengakuan dari orang lain.

Menurutku, mungkin, tulisan Kafka dipengaruhi oleh masa kanak-kanaknya yang sulit mendapatkan pengakuan dari sang ayah.

Tokoh K yang di awal cerita digambarkan tersesat dalam perjalanannya menuju Kastil. Ia pun menghabiskan malam di atas tikar jerami di sebuah penginapan di desa itu. Bahkan istirahatnya pun terganggu karena penduduk desa penasaran dengan jati dirinya.

Aku sih sedikit terkesan dengan perkataan K saat berbincang dengan Freida, kekasih Klamm:

"...Tetapi banyak rintangan berat di dunia, mereka menjadi semakin besar, dan tak perlu malu untuk meyakinkanmu bahwa ada seorang laki-laki yang mungkin kecil dan tak berpengaruh, tetapi siap untuk bertarung..." (hal.66)

Point yang kudapat dari membaca buku ini adalah tentang seorang K yang berusaha mencari ruang pengakuan bagi dirinya di dunia ini. K ingin mendapati dirinya di tengah orang-orang yang memahami keinginan dirinya, hasratnya, ketakutan dan harapannya. Sayangnya, ketakutannya untuk mengambil risiko dalam menggali potensi dirnya membuatnya terjebak di tempat yang sama tanpa disadarinya.

So, buku setebal 460 halaman ini cukup bagus buat dibaca. Terutama buat kamu yang suka dengan karya Kafka yang terkesan sedikit absurd. Penasaran? Selamat membaca!


Thursday 12 March 2020

Karakter Hester Prynne dan Arthur Dimmesdale dalam The Scarlet Letter


A good man's prayers are golden recompensate (hal. 336)

Membaca buku yang sudah lama kudownload ini membuatku berpikir ulang tentang arti cinta, kejujuran, dan keberanian. Arti tentang hidup.

Buku yang kubaca untuk memenuhi tantangan Reading Challenge Odop yang temanya genre romance. Genre yang lebih sering kubaca dibanding genre lain.

The Scarlet Letter karya Nathaniel Hawthorne merupakan karya klasik yang asyik dibaca. Apalagi kalau kita tertarik membahas tentang cinta dari sudut yang berbeda. Cinta yang penuh keberanian dan pengorbanan.

Kisah The Scarlet Letter yang diperankan oleh dua tokoh sentral, Hester Prynne, seorang wanita muda cantik yang dihukum dengan mengenakan tanda 'A' di dadanya karena dosa perzinahan yang ia lakukan  dan Arthur Dimmesdale, seorang reverant muda yang tampan dan pintar. Ada juga Pearl, putri kesayangan Hester, yang cerdas dan ceria.

Kisah dimulai dengan persidangan atas Hester Prynne yang dilakukan di depan banyak orang. Hester yang menggendong Pearl yang masih bayi, mengenakan baju merah dengan simbol 'A' (Adultery yang artinya perzinahan) dengan tabah menghadapi kemarahan dewan gereja dan masyarakat. Hester juga menolak memberitahu nama 'ayah' Pearl. Hal yang membuat gereja marah dan menjebloskan Hester ke penjara.

Keteguhan dan ketabahan Hester menghadapi guncingan dan hinaan warga tak menyurutkan perundungan terhadap putrinya. Tapi, Hester tetap bertahan dan sabar mengakui kesalahannya. Ia juga berusaha menghidupi dirinya dan Pearl dengan kerja keras sebagai penjahit. Keahliannya diakui oleh banyak orang. Termasuk gereja. 

Hester pun tidak membenci ayah Pearl, meski ia tak berani mengakui dosa bersama dirinya. Hester juga tidak mengajarkan Pearl untuk membenci siapapun.

Hester dengan bahagia merawat Pearl, dan menyayanginya. Ia tidak malu dengan keberadaan Pearl. Meski ia menyadari bahwa dirinya tak pantas memiliki berkah seperti Pearl karena dosa-dosanya.

Kesadaran yang membuatnya makin menghargai pemberian Tuhan, lebih mencintai hidup.

Sedang tokoh lain yang membuatku geregetan adalah Arthur Dimmesdale. Seorang pendeta muda yang tampan dan baik. Sayang, ia begitu takut menodai jubah suci gereja yang ia kenakan. Padahal, ia menyadari bahwa ia tak pantas lagi mengenakan jubah simbol kebesaran gereja itu.

Memahami tokoh Dimmesdale ini seperti berusaha mengenal diri sendiri. Sosok yang berjuang meraih derajat mulia di mata masyarakat. Meski harus mengorbankan hati nurani. 

Sosok Dimmesdale yang hidup dalam ketakutan, kekhawatiran dan penyesalan ini mewakili sosok manusia yang tak ingin melepaskan derajat mulia di mata masyarakat. Padahal hatinya berkubang dalam kesedihan dan penderitaan karena dosa yang ia lakukan.

Selanjutnya, ada tokoh Pearl, buah cinta Hester. Tokoh tanpa dosa yang mencari kasih sayang ayah yang tak ia dapatkan. Pearl yang penuh rasa ingin tahu atas segalanya, termasuk perundungan yang sering ia dan ibunya dapatkan. Tokoh yang menggambarkan ketulusan, dan keberanian hingga melunturkan stigma bahwa buah dosa itu tak suci atau bernoda. Tokoh ini seolah menjelaskan bahwa ia tak bersalah. Ia hanya terlahir dari perbuatan dosa.

Akhirnya, aku pun berpikir bahwa cinta itu dapat memaafkan. Seberat apapun dosa kita. Sebagai manusia, kita tak berhak menilai orang lain kecuali apa yang kita ketahui karena belum tentu kita lebih baik. 

Judul buku   : The Scarlet Letter
Penulis          : Nathaniel Hawthorne
Penerbit       : Planet PDF
Tebal             : 394 halaman

For more free eBook visit our Web site at http://www.planetpdf.com/

Saturday 7 March 2020

Review Awal dan Akhir Novel Karya Naguib Mahfouz


Judul           : Awal dan Akhir
Penulis        : Naguib Mahfouz
Penerjemah : Anton Kurnia dan Anwar Holid
Pengantar  : Supardi Djoko Damono
Penerbit      : Yayasan Obor Indonesia 2000
ISBN            : 979-461-352-5
Tebal           : 310

Ia (Mahfouz) bukan hanya seorang Hugo dan seorang Dickens, tetapi juga seorang Galsworthy, seorang Mann, seorang Zola, dan seorang Jules Romain. (Edward Said dalam London Review of Books)

Saat aku membaca pengantar novel ini, ketertarikan membaca novel ini muncul. Novel yang ditulis oleh Naguib Mahfouz, seorang penulis dari tanah Mesir yang banyak menulis tentang "pemberontakan" hingga menarik perhatian Barat.

Novelnya yang berjudul Awal dan Akhir ini pun menceritakan kritik yang tersirat tentang keadaan ekonomi di Mesir pada saat itu. Juga mengenai pandangan universal yang berakar di masyarakat.

Novel yang mengungkapkan tentang kemiskinan, masalah sensitif di masyarakat yang begitu mendesak untuk dibahas, dan dicari solusinya.

Masalah kemiskinan yang memetakan perbedaan besar antara si kaya dan si miskin, antara penguasa dan yang dikiasai, dan antara yang kuat dan tak berdaya.

Novel yang dimulai dengan kisah dua anak laki-laki yang diberitahu di sekolah bahwa ayah mereka telah meninggal. Ayah, yang merupakan satu-satunya pencari nafkah di keluarga itu. Kegoncangan dan kebingungan mendera keluarga yang harus hidup tanpa penopang hidup. Sementara anak tertua keluarga ini pun tidak bisa diharapkan.

Penderitaan dan kesedihan keluarga ini terus berlanjut, hingga anak perempuan keluarga ini pun menjadi tukang jahit, dan terjebak dalam pahitnya pilihan hidup. Semuanya karena keputusasaan dan ketidakberdayaan dalam menjalani hidup ini.

Keputusasaan yang didasari atas rasa sendiri. Diabaikan. Tanpa penolong. Bukankah kita ini mahluk yang rapuh tanpa bantuan orang lain? Tanpa kasih sayang dari sekitar kita?

Meskipun mereka tetap berusaha yakin pada kebaikan Allah, keputusasaan dan keterasingan dari dunia ini membawa akhir penuh tragedi pada novel yang murung ini.

M. M Badawi dalam sebuah artikel untuk The Egyptian Bulletin bulan Juni 1982,  menyatakan keutamaan karya Mahfouz sebagai kritik sosial politik yang dilukiskan sebagai:

Takdir bagi karakter individu adalah mikrokosmos, namun makrokosmos adalah takdir bagi Mesir modern. Tragedi, penderitaan, konflik antara lelaki dan perempuan yang dicerminkan oleh orang-orang dalam novel ini meliputi skala sosial yang lebih besar, perubahan politik dan intelektual dalam sebuah bagian penting dunia Arab modern....(hal. xix)

Menurutku, pergolakan sosial yang terefleksi dalam setiap adegan di novel ini adalah gambaran nyata keadaan sosial yang secara universal terjadi di negara ketiga, seperti Mesir. Gambaran kenyataan yang juga mirip dengan Indonesia.

Aku teringat saat membaca tokoh Hasan, anak tertua di keluarga ini. Tokoh yang cenderung kesulitan mencari ruang bagi dirinya di masyarakat. Terombang-ambing dalam ketakberdayaan karena terbiasa bergantung pada ayahnya.

Tokoh yang mewakili keadaan negara dunia ketiga yang 'bingung' saat negara 'pelindung' meninggalkannya. Limbung karena tak adanya kemandirian dalam berkarya. Terbiasa mengandalkan negara lain untuk memenuhi kebutuhannya.

Selanjutnya, tak adanya kerabat atau teman yang mengulurkan bantuan pada keluarga ini membuat keterpurukan makin menyelimuti. Seolah tak ada jalan keluar, bagai suatu negara yang terisolasi karena kemiskinannya. Ditambah tak adanya sumber daya manusia yang bisa diandalkan untuk menghidupi.

Kemudian ada tokoh Nafisah, anak perempuan yang terombang-ambing dengan hasratnya sebagai seorang gadis terhormat dan menjaga keutuhan keluarga. Pilihan yang berat, sementara kepentingan perut tak bisa ditunda.

Nafisah yang menggambarkan warga suatu negara ketiga yang begitu berhasrat untuk menunjukkan kecantikannya pada dunia. Ia berusaha memenuhi hasrat kewanitaanya yang secara alami merupakan hal yang wajar. Sayangnya, pengetahuannya tentang dunia yang terbatas membuatnya terjebak dalam urusan perut semata. Kebodohan menyebabkannya tak bisa menghargai dirinya sebagai seorang wanita. Memilih mengakhiri hidup dibanding menghadapi kenyataan.

Tokoh ibu di novel ini pun digambarkan nyata dalam perjuangannya mempertahankan biduk rumah tangga setelah nahkoda pergi. Ia berjuang memegang kemudi yang tak ia kenal, sementara kapal perlahan karam.

Perjuangan yang seakan menemui titik akhir, saat usaha selalu bertemu kegagalan. Hal yang seharusnya dapat dihindari jika ada kolaborasi atau bantuan dari pihak lain atau keluarga. Kerabat atau  teman yang bersedia mengulurkan bantuan agar penderitaan dapat dibagi. Tak terlalu berat hingga menimbulkan akhir yang begitu tragis. Penyesalan dan kematian.

So, membaca buku ini menyadarkanku tentang pentingnya menjaga rasa kasih sayang pada sesama. Mengingatkan tentang pentingnya berbagi pada sekitar kita. Hal yang mengingatkanku atas ucapan seorang teman, "Kebaikan itu dapat menghindarkan penderitaan baik bagi pemberi maupun penerima."

Friday 28 February 2020

10 Alasan Membaca “The Truman Era”


You cannot depend on prayer to sell washing machines
or on miracles to meet a payroll (page 187)

Jujur saja, aku tidak banyak tahu tentang Amerika. Begitu pun tentang Harry S. Truman, Presiden Amerika ke 33 (1945-1949) yang terkenal dengan keputusan kontroversialnya terkait bom yang dijatuhkan di Nagasaki dan Hiroshima. Keputusan yang akhirnya menurunkan pamor politiknya di kemudian hari.

Aku pun jadi tertarik membaca buku yang ditulis oleh I.F. Stone, seorang jurnalis politik yang juga menulis tentang Korea War. Buku yang juga berhubungan dengan karir politik Truman.Buku yang kupikir bisa memberi perspektif baru tentang cara berpikir orang Amerika di saat itu.

Oya, aku membaca buku ini untuk memenuhi tantangan RCO 7 level 2 mengenai biography orang berpengaruh di dunia, sekaligus menulis 10 alasan kenapa aku baca buku ini.

1.  Buku ini ditulis oleh I. F. Stone seorang penulis kawakan yang tulisannya tajam dan jelas. I.F Stone juga seorang Amerika yang mencintai negeranya, sama dengan Truman, tokoh yang ia tulis.

2.  Buku ini menjelaskan dengan sederhana dan gamblang tentang seorang Truman yang sederhana. Seorang anak petani yang ingin menjadi tentara tapi terhalang oleh penglihatannya yang buruk. Ia harus memakai kaca mata yang tebal. Meski demikian ia tak pernah menyerah.

3.  Truman digambarkan sebagai pengambil keputusan yang berani terkait dengan berbagai isu yang sensitive, seperti: pemboman Nagasaki dan Hiroshima yang menghentikan PD1, keputusan untuk memihak Korea Selatan yang berlangsung sampai hari ini, dan beberapa keputusan lain termasuk keberpihakannya terhadap Rusia melawan Hitler.

4.  Buku ini juga menjelaskan tentang kesederhanaannya dalam memandang hidup ini. Ia pernah menjadi seorang salesman, rancher, farmer, hingga menjadi senator dan vice president of Roosevelt.

5.  Sebagai seorang presiden, ia juga mengingatkanku pada presiden Indonesia yang juga memerintah selama dua periode. Jokowi, yang juga berpenampilan sederhana dan low profile.

6.  You cannot depend on prayer to sell washing machines or on miracles to meet a payroll (page 187)  adalah kutipan dari buku ini yang menggambarkan cara berpikir orang Amerika umumnya. Keyakinan akan kerja keras dan usaha yang dapat membebaskan kita dari kesulitan hidup. Apalagi pada tahun-tahun masa pemerintahan Truman, Amerika baru saja mengalami masa Great Depression (1929-1939). Menjelaskan bagaimana kita harus bangkit dari kemalasan.

7.  Truman juga cukup konsisten dengan pilihan politik untuk menentang komunis, pilihan yang sulit mengingat Uni Soviet merupakan sekutu terkuat Amerika saat itu.

8.  Truman adalah seorang liberal yang taat mengikuti shermon dan sangat dekat dengan ibunya. Ia bercerita saat ia pulang dari Prancis, ibunya bertambah berat badannya.

9.  Truman membenci perang. Salah satu alasan ia menandatangani pemboman Nagasaki dan Hisoshima adalah untuk menghentikan perang. Sebagai mantan tentara, ia juga sangat mengerti tentang akibat perang bagi keluarga-keluarga Amerika.

10.  Akhirnya, setelah membaca buku ini, aku makin menyadari, baik Amerika, Indonesia atau siapa pun kita adalah manusia yang mencintai kehidupan damai dan tenang. Sejahtera. Seperti percakapan di akhir tulisan buku ini.

Dr. Einstein     : “Granted, but can’t you intervene just this once to save your  creation?”
Mr. X              : “I cannot. It is no longer mine. I provided the spark, but that was only  the beginning. Man beyond that is his own creation. History is the record of his painful struggle to mold himself….”



Monday 24 February 2020

Review Novel Si Cantik dari Notre Dame karya Victor Hugo



Judul Buku              : Si Cantik dari Notre Dame
Penulis                    : Victor Hugo
ISBN                       : 978-979-024-208-1
Penerbit                  : PT. Serambi Ilmu Semesta
Harga                      :  -
Tebal Buku              :  570 hlm
Penerjemah            :  Sunaryono Basuki K.S
Penyunting             :   Anton Kurnia
Pemeriksa Aksara  :  Eldani
Pewajah isi             :   Siti Qomariyah
Cetakan                  :  Juli 2010

Saat melihat judulnya, aku berpikir tentang kisah cinta seperti Beauty and The Beast. Nyatanya, aku sungguh keliru!  Novel yang berjudul asli The Hunchback from Notre Dame ini mengisahkan dalamnya kegelapan hati manusia dapat mempengaruhi  caranya memperlakukan orang lain.

Beberapa tokoh menggambarkan moral manusia yang begitu bobroknya, hingga membuat kudukku meremang. 

Tokoh-tokoh Menggetarkan Hati Dalam "Si Cantikdari Notre Dame"

1. Quasimodo

Quasimodo yang bertampang rusak dengan wujud yang tak terbayang dalam imajinasi terburuk sekalipun.

Mata satu, wajah mengerikan, bungkuk, dan kaki melengkung. Hingga saat bayi pun ia tak dikira bayi manusia! 

Ia dibuang, dihina, dikucilkan, dan dianggap tak lebih buruk dari hewan. Bahkan oleh orang yang merawatnya sendiri. Frollo, wakil uskup yang membesarkannya sendiri dengan tangannya. Menganggap Quasimodo sebagai semacam investasi atas nama adiknya yang nakal.

Quasimodo yang besar di lingkungan tembok Katedral Notre Dame memiliki tugas besar utama sebagai pemukul lonceng. Tugas yang amat ia cintai.

Tugas ini pun yang makin menjauhkannya dengan dunia. Ia jadi tuli karena bunyi lonceng yang menghantam gendang telinganya bertahun-tahun. 

Selanjutnya, ia pun memilih jadi bisu karena enggan menghiraukan ejekan orang-orang terhadapnya. Ia fokus pada yang ia sanggup ia lihat. 

Quasimodo, menurutku perwujudan manusia penghamba tuannya tanpa syarat. Ia patuh pada hampir semua keinginan ayah angkatnya, Frollo.

Quasimodo, hanya mengenal dua bentuk cinta dalam hidupnya. Lonceng Katedral Notre Dame dan Frollo. Bagai ibu. Bagai Tuhan. Dicinta dan ditakuti.

2. Claude Frollo

Frollo yang cerdas dan haus akan ilmu pengetahuan. Di matanya tak ada yang lebih penting dibanding ilmu pengetahuan.

Kecintaannya yang berlebihan pada ilmu pengetahuan membuat pribadi Frollo jadi aneh dan suram. Ia menganggap hubungan manusia itu tidak penting. Ia juga hanya menghabiskan bertahun-tahun hidupnya dalam buku dan penelitiannya. 

Sedangkan pengabdiannya sebagai wakil uskup hanyalah penggugguran tanggung jawab. Ia mengambil banyak keuntungan dari jabatannya, baik bagi kecintaannya yang aneh pada pengetahuan atau untuk menutupi dosa Jehan Frollo, adiknya.

"Sama saja, otak adalah sesuatu yang baik dan kakakku wakil uskup sangat beruntung karena bijaksana dan punya uang." (Hal. 356)

3. Esmeralda

Gadis gipsi yang cantik ini menggambarkan cinta yang bebas. Sayang, kecantikan wajahnya tak seperti nasibnya. Meski memiliki kambing sebagai sahabat, ia tak bisa memilih sahabat dan kekasih yang tulus. Semua yang dekat padanya selalu memiliki dua alasan, yaitu kecantikan dan tubuhnya.

Esmeralda pun terjebak di tengah kemelut perebutan empat pria dalam hidupnya, yaitu: Quasimodo yang tulus mencintainya meski ia berbentuk monster, Frollo yang seorang wakil uskup tapi haus akan kekuasaan, Gringoire seorang penyair miskin yang ia nikahi untuk menyelamatkan hidup pria itu dan Phoebus, seorang perwira licik yang berwajah tampan.

4. Gringoire

Penyair miskin yatim piatu yang begitu mencintai seni sebagai penyabung hidupnya. Ia hidup dari hari ke hari mengandalkan dirinya dan belas kasihan orang lain. Sangking miskinnya, kaki lima pun barang mewah baginya untuk tidur.

Bahkan kematian pun tak begitu mengkhawatirkannya sebagaimana kemiskinan dan Quasimodo. 

"Apa sebenarnya kematian itu?" Gringoire melanjutkan dengan rasa bangga. "Suatu saat yang tidak menyenangkan, gerbang menuju bukan apa-apa.."

Sinopsis

Awal cerita dimulai dengan pertunjukan drama Kaum Dungu yang gagal. Digantikan oleh arakan Paus Kaum Dungu yang dianggap lebih menghibur.

Mungkin kamu mengira Paus Kaum Dungu adalah sebutan biasa. Tapi pertunjukan ini tak lebih dari olok-olokan tak beradab. Pencarian akan bentuk tanpa bentuk sebagai sumber olok-olokan, hinaan, dan kekaguman atas rasa jijik. 

Pada pencarian itu terpilihlah Quasimodo. Ia dianggap yang terburuk dari yang paling buruk. Quasimodo diarak, dan dielu-elukan keliling kota Paris. Didandani bak raja kaum gila "Paus Kaum Dungu". Dihina, ditakuti dan dikagumi. Orang-orang melihat sambil menutup mata dengan jijik.

Quasimodo yang seumur hidup belum pernah mendapat perhatian penuh, merasa tersanjung. Ia merasa berbeda.

Ia melihat dunia dengan cara yang berbeda melebihi tembok-tembok Katedral Notre Dame yang ia panjat selama bertahun-tahun. 

Ia pun melihat dunia ini dari mata Esmeralda, lalu mengaggumi dan mengejarnya. Berharap dapat bersamanya. 

Aku sih, melihat sosok Quasimodo dalam bingkai masyarakat sebagai orang yang terbuang dari masyarakat. Dibuang oleh orang tuanya karena wujudnya yang aneh, diangkat oleh seorang wakil uskup yang mengurusnya sebagai penebusan dosa adiknya, dan memperlakukan Quasimodo tak lebih dari budak.

Pengalihan rasa cinta Quasimodo dari lonceng Katedral Gereja dan Frollo pada wujud Esmeralda yang cantik adalah wajar. Bukankah cinta itu merindu pada keindahan, dan bukannya dingin lonceng, tembok, dan sifat manusia yang digambarkan oleh sifat Frollo?

Sedang yang indah pun selalu condong pada yang indah pula. Sebagaimana Esmeralda menganggap dirinya mencintai Phoebus yang tampan.

Sayangnya, kita sering tertipu oleh penampilan fisik seseorang. Wajah yang indah terkadang hanya menutupi borok dari sifat yang sudah mengakar. Mata yang terlihat jernih pun lebih suka melihat penderitaan orang lain. Bahkan bisa menjatuhi hukuman mati sambil makan dan minum!

Anyway, kisah ini bikin kita jadi berpikir kritis tentang diri kita. Berusaha melakukan perbaikan sikap. Sungguh, moral yang baik itu bukan hadir dari genggaman jabatan, tapi dari niat tulus dan hati yang baik.

Thursday 20 February 2020

Review Novel "Forever After" karya Catherine Anderson


Cinta merupakan tema abadi dalam kehidupan manusia. Begitu pun kisah  Meredith Kenyon, seorang wanita cantik dengan yang lari dari masa lalunya dan Heath Masters, seorang penegak hukum yang kesepian.

 Masing-masing punya masa lalu yang membayangi langkah mereka. Membebani hati untuk meraih kebahagiaan.

Meredith yang lari dari Dan, mantan suaminya yang seorang perundung dalam kehidupan sesaat pernikahan mereka.

Heath Masters, yang menganggap Ian Masters, ayahnya sebagai seorang perundung di kehidupannya.

Kedua orang ini bertemu dan saling mengobati luka di hati mereka. Dibantu oleh Goliath, anjing Rottweiler milik Heath. Goliath yang begitu suka dengan anak-anak. Termasuk Sami, putri Meredith.

Kedekatan Sami dan Goliath lambat laun mengobati trauma mereka terhadap anjing dan masa lalu yang membayangi. Mengobati luka. Ditambah kebaikan dan kesabaran Heath menghadapi Sami, mengetuk hati Meredith yang lama tertutup.

Tapi, masa lalu Meredith akhirnya menghantui kedekatan mereka. Heath Masters akhirnya mengetahui kejahatan yang dilakukan Meredith, dan menahan Meredith dengan tangannya sendiri. 

Bagaimana kelanjutannya? Siapa Meredith sebenarnya? Apa yang akan Heath lakukan untuk menolong kekasihnya?
*****

Sebenarnya kisah ini sama seperti kisah kitsch lain. Kisah popular yang mudah dipahami dan menghibur. Jalan ceritanya juga bisa kita tebak.


Yang kusuka dari buku ini adalah buku ini santai dan serius. Memberi pandangan berbeda tentang cara orang Amerika memandang hidup. 


Satu hal yang pasti, kebahagiaan adalah hal universal yang diimpikan semua orang. Nah, mungkin itu salah satu alasan buku-buku kitsch ini disukai. Happy ending.

Saturday 8 February 2020

Review San Pek Eng Tay: Romantika Emansipasi Seorang Perempuan


Isu emansipasi perempuan bukanlah barang baru. Kita akan temui isu ini menyeruak ke permukaan melebihi buih, lebih dari berabad silam. Isu yang tetap panas, meski telah lama meninggalkan 'oven'. Pertanyaannya sekarang, apakah isu ini masih relevan dengan zaman yang sudah memasuki era Society 5.0. Zaman yang sudah mengintegrasikan dunia digital dengan dunia nyata.

Aku teringat dengan tulisan yang sedang kubaca "San Pek Eng Tay karya OKT, Oey Kim Tiang yang seorang peranakan Cina generasi ke-2. Buku yang ia tulis sebagai bentuk perhatiannya terhadap tragedi pemutarbalikan citra dari kisah 'San Pek Eng Tay' yang telah mengakar di masyarakat. Citra kisah yang sebatas romantika ala Romeo and Juliet yang sebenarnya merupakan tema sekunder dibanding tema emansipasi perempuan yang jadi tema primer di buku ini. Kisah perjuangan seorang perempuan mendobrak pandangan minoritas di masyarakat.

Kisah dimulai saat Eng Tay muda yang berusia 17 tahun berusaha memenuhi cita-citanya untuk belajar ilmu budaya. Eng Tay yang cantik dan pintar ini memang berbeda dengan gadis lain. Selain pintar, ia pun memiliki keterampilan seorang gadis pada zamannya. Hingga papa dan mamanya begitu mencintai putri semata wayangnya ini. Semua cinta tercurah pada Eng Tay. Cinta sang papa, Ciok Kong Wan yang dalam ini juga yang menyebabkan Eng Tay sulit untuk mengejar cita-citanya untuk melanjutkan pelajarannya di Hong-ciu. Kong Wan menganggap seorang perempuan tidak perlu menempuh pendidikan seperti laki-laki..

"Kenapa kau bicara seakan-akan bermimpi di siang hari? Kau tahu, Nabi Khong mempunyai murid tiga ribu orang lebih, adakah muridnya wanita? Pek Ciu pasti tidak akan menyimpang dari nabi kita itu dengan menerima murid perempuan? Oh, anakku, andaikan pun papamu mengizinkan, di sana kau pasti akan membentur tembok penghalang, kau akan pulang sia-sia saja! Maka dari itu, Nak, kuanggap kata-katamu itu sebagai igauan!" (hal 8)

Pandangan Kong Wan ini merupakan pandangan yang lumrah di zaman itu. Wanita pada zaman itu hanya menempuh pendidikan di rumah saja, itu pun jika ia terlahir dari keluarga terpandang seperti keluarga Ciok Kong Wan. Sebagian besar wanita di zaman itu tidak memiliki kesempatan menuntut ilmu. Sehingga sempat tercetus ucapan Eng Tay bahwa ia terlalu cepat lahir. Ia merasa lahir di zaman yang belum siap menerima pemikirannya. Meski begitu, Ciok Eng Tay tetap berusaha berjuang meraih keinginannya. Eng Tay berjuang keras dengan menyamar sebagai laki-laki di Hong-cu, dan bergaul dengan Nio San Pek. Bahkan ia juga pernah sekamar dengan San Pek. Seorang pelajar baik hati yang jadi teman belajar Eng Tay.

Kebersamaan Eng Tay dan San Pek menumbuhkan rasa sayang, hingga Eng Tay memutuskan untuk memilih San Pek sebagai suaminya. Keputusan yang menunjukkan kekuatan hatinya sebagai wanita. Hal yang juga tak lazim di zamannya mengingat keputusan perkawinan pun ada di tangan orang tua. Bukan anak perempuan.

Keinginan Eng Tay untuk menentukan nasibnya sendiri dengan menuntut ilmu di Hong-cu dan memilih sendiri calon suaminya adalah usaha Eng Tay memperjuangkan emansipasi wanita. Ia tak gentar melawan hegemony kekuasaan pria untuk menentukan nasib sendiri. Pandangan yang banyak dipengaruhi oleh Konfusius. Eng Tay yakin bahwa wanita pun memiliki hak yang sama dengan laki-laki. Eng Tay yang mempelajari hal tersebut, berpikir kritis dan berusaha mendobrak pemahaman itu.

Kisah San Pek Eng Tay ini mengingatkanku dengan kisah Siti Nurbaya. Kisah yang menggambarkan tentang kaum wanita yang diperlakukan sebagai kaum yang seolah tanpa keinginan. Kisah yang juga berakhir tragis.

Membaca kisah ini, menggugah semangatku untuk terus belajar dan belajar. Aku pun merasa bersyukur terlahir di zaman di mana wanita bisa belajar dan mengembangkan diri dengan kesempatan yang sama dengan kaum pria. Kesempatan yang belum diperoleh oleh Eng Tay dan wanita lain di belahan dunia lain karena keterbatasan fasilitas dan sarana pendukung.

Anyway, buku ini bagus buat dibaca dan menarik. Apalagi bagi kamu yang suka baca kisah romantis. Meski kisah ini tragis, kita dapat mengambil hikmah tentang persahabatan, kasih sayang, keberanian, kejujuran dan keteguhan hati. Aku sih, terharu saat San Pek jatuh sakit karena kesedihan yang dalam memikirkan Eng Tay yang ia cintai. Hingga memesan dua nisan bagi dirinya dan Eng Tay! San Pek berusaha memenuhi janjinya pada kekasihnya, Eng Tay agar bisa tetap bersama. Di mana pun.

Penasaran dengan kisah yang sudah melegenda dan ditulis ulang oleh OKT meski ia sudah berusia 85 tahun? Yuk, baca buku ini. Dijamin kamu bagai melayang ke negeri jauh ini, Cina. Negeri yang terkenal dengan kekayaan budaya dan tradisinya.

Bandarlampung, 8 Februari 2020

And The Mountains Echoed: Harapan dalam Keputusasaan

Manaar tergeletak di kasur tipis, butut dan bau   di antara kasur-kasur serupa di ruangan sempit itu. Tubuhnya kurus dengan benjolan membesa...