Saturday 7 March 2020

Review Awal dan Akhir Novel Karya Naguib Mahfouz


Judul           : Awal dan Akhir
Penulis        : Naguib Mahfouz
Penerjemah : Anton Kurnia dan Anwar Holid
Pengantar  : Supardi Djoko Damono
Penerbit      : Yayasan Obor Indonesia 2000
ISBN            : 979-461-352-5
Tebal           : 310

Ia (Mahfouz) bukan hanya seorang Hugo dan seorang Dickens, tetapi juga seorang Galsworthy, seorang Mann, seorang Zola, dan seorang Jules Romain. (Edward Said dalam London Review of Books)

Saat aku membaca pengantar novel ini, ketertarikan membaca novel ini muncul. Novel yang ditulis oleh Naguib Mahfouz, seorang penulis dari tanah Mesir yang banyak menulis tentang "pemberontakan" hingga menarik perhatian Barat.

Novelnya yang berjudul Awal dan Akhir ini pun menceritakan kritik yang tersirat tentang keadaan ekonomi di Mesir pada saat itu. Juga mengenai pandangan universal yang berakar di masyarakat.

Novel yang mengungkapkan tentang kemiskinan, masalah sensitif di masyarakat yang begitu mendesak untuk dibahas, dan dicari solusinya.

Masalah kemiskinan yang memetakan perbedaan besar antara si kaya dan si miskin, antara penguasa dan yang dikiasai, dan antara yang kuat dan tak berdaya.

Novel yang dimulai dengan kisah dua anak laki-laki yang diberitahu di sekolah bahwa ayah mereka telah meninggal. Ayah, yang merupakan satu-satunya pencari nafkah di keluarga itu. Kegoncangan dan kebingungan mendera keluarga yang harus hidup tanpa penopang hidup. Sementara anak tertua keluarga ini pun tidak bisa diharapkan.

Penderitaan dan kesedihan keluarga ini terus berlanjut, hingga anak perempuan keluarga ini pun menjadi tukang jahit, dan terjebak dalam pahitnya pilihan hidup. Semuanya karena keputusasaan dan ketidakberdayaan dalam menjalani hidup ini.

Keputusasaan yang didasari atas rasa sendiri. Diabaikan. Tanpa penolong. Bukankah kita ini mahluk yang rapuh tanpa bantuan orang lain? Tanpa kasih sayang dari sekitar kita?

Meskipun mereka tetap berusaha yakin pada kebaikan Allah, keputusasaan dan keterasingan dari dunia ini membawa akhir penuh tragedi pada novel yang murung ini.

M. M Badawi dalam sebuah artikel untuk The Egyptian Bulletin bulan Juni 1982,  menyatakan keutamaan karya Mahfouz sebagai kritik sosial politik yang dilukiskan sebagai:

Takdir bagi karakter individu adalah mikrokosmos, namun makrokosmos adalah takdir bagi Mesir modern. Tragedi, penderitaan, konflik antara lelaki dan perempuan yang dicerminkan oleh orang-orang dalam novel ini meliputi skala sosial yang lebih besar, perubahan politik dan intelektual dalam sebuah bagian penting dunia Arab modern....(hal. xix)

Menurutku, pergolakan sosial yang terefleksi dalam setiap adegan di novel ini adalah gambaran nyata keadaan sosial yang secara universal terjadi di negara ketiga, seperti Mesir. Gambaran kenyataan yang juga mirip dengan Indonesia.

Aku teringat saat membaca tokoh Hasan, anak tertua di keluarga ini. Tokoh yang cenderung kesulitan mencari ruang bagi dirinya di masyarakat. Terombang-ambing dalam ketakberdayaan karena terbiasa bergantung pada ayahnya.

Tokoh yang mewakili keadaan negara dunia ketiga yang 'bingung' saat negara 'pelindung' meninggalkannya. Limbung karena tak adanya kemandirian dalam berkarya. Terbiasa mengandalkan negara lain untuk memenuhi kebutuhannya.

Selanjutnya, tak adanya kerabat atau teman yang mengulurkan bantuan pada keluarga ini membuat keterpurukan makin menyelimuti. Seolah tak ada jalan keluar, bagai suatu negara yang terisolasi karena kemiskinannya. Ditambah tak adanya sumber daya manusia yang bisa diandalkan untuk menghidupi.

Kemudian ada tokoh Nafisah, anak perempuan yang terombang-ambing dengan hasratnya sebagai seorang gadis terhormat dan menjaga keutuhan keluarga. Pilihan yang berat, sementara kepentingan perut tak bisa ditunda.

Nafisah yang menggambarkan warga suatu negara ketiga yang begitu berhasrat untuk menunjukkan kecantikannya pada dunia. Ia berusaha memenuhi hasrat kewanitaanya yang secara alami merupakan hal yang wajar. Sayangnya, pengetahuannya tentang dunia yang terbatas membuatnya terjebak dalam urusan perut semata. Kebodohan menyebabkannya tak bisa menghargai dirinya sebagai seorang wanita. Memilih mengakhiri hidup dibanding menghadapi kenyataan.

Tokoh ibu di novel ini pun digambarkan nyata dalam perjuangannya mempertahankan biduk rumah tangga setelah nahkoda pergi. Ia berjuang memegang kemudi yang tak ia kenal, sementara kapal perlahan karam.

Perjuangan yang seakan menemui titik akhir, saat usaha selalu bertemu kegagalan. Hal yang seharusnya dapat dihindari jika ada kolaborasi atau bantuan dari pihak lain atau keluarga. Kerabat atau  teman yang bersedia mengulurkan bantuan agar penderitaan dapat dibagi. Tak terlalu berat hingga menimbulkan akhir yang begitu tragis. Penyesalan dan kematian.

So, membaca buku ini menyadarkanku tentang pentingnya menjaga rasa kasih sayang pada sesama. Mengingatkan tentang pentingnya berbagi pada sekitar kita. Hal yang mengingatkanku atas ucapan seorang teman, "Kebaikan itu dapat menghindarkan penderitaan baik bagi pemberi maupun penerima."

4 comments:

  1. Suka ceritanya. Dan baru denger nama penulisnya. Coba cari di tokbuk, ah.

    ReplyDelete
  2. Yups....semakin canggih teknologi sekarang...semakin menipis rasa empati ke sesama

    ReplyDelete
    Replies
    1. Bener kak. Semakin canggih teknologi, empati pun makin mahal..

      Delete

And The Mountains Echoed: Harapan dalam Keputusasaan

Manaar tergeletak di kasur tipis, butut dan bau   di antara kasur-kasur serupa di ruangan sempit itu. Tubuhnya kurus dengan benjolan membesa...