Saturday 28 March 2020

Alasan Memilih Review Buku "The Holocaust Industry"



Industri Holocaust mungkin telah berubah menjadi "perampok terbesar yang pernah ada dalam sejarah kemanusiaan"


Bicara tentang Holocaust pasti mengingatkan kita tentang genosida yang dilakukan oleh Jerman pada Perang Dunia II. Holocaust yang menurut berita di media massa menelan sekitar enam juta jiwa yang sebagian besar adalah orang Yahudi. Berita yang terpatahkan menurut fakta yang ada di buku ini.

Holocaust berarti penghancuran besar terhadap kehidupan, khususnya dengan melakukan pembakaran. Teknisnya kata itu berarti pembantaian massal dan keji terhadap kaum Yahudi oleh Nazi Jerman di bawah pimpinan Adolf Hitler di masa Perang Dunia II.

Holocoust yang dianggap sebagai penipuan terorganisir atas nama masa lalu. Kejahatan besar yang dianggap kebenaran karena kepentingan politik yang tersembunyi. Sebut saja angka pembantaian secara sistematis enam juta jiwa Yahudi oleh Nazi Jerman saat itu yang kemudian mengilhami film Spielberg Schindler's List. Padahal ukuran Auschwitch, kamp kerja Jerman paling terkenal buruknya, sangat kecil, dengan hanya 11.000 (kebanyakan bahkan bukan orang Yahudi). Menurut hitungan sederhana, Jerman butuh ratusan kamp untuk menghabisi 137 orang per jam, agar enam juta Yahudi dapat dibantai di kamp-kamp kecil Auschwitz. Hal yang tak masuk akal mengingat hanya 850.000 tentara dan sipil yang terbunuh selama perang dunia II. 

Menurut pendapat penulis, Barat bahkan menganggap Holocaust sebagai sesuatu yang sakral. Melebihi kitab suci dari Kristen maupun Yesus, sebab orang dapat menghina Tuhan tanpa risiko apa pun. Tapi menolak Holocaust dianggap suatu dosa besar.  Seorang Germar Rodef, ahli Kimia asal Jerman dipaksa bunuh diri karena menulis buku "Dissection Holocaust" (Pembedahan Holocaust).  Sedang beberapa yang lain dibungkam oleh kenyamanan secara finansial hingga tidak mampu mempertanyakan kebenaran Holocaust.

5 Alasan yang menyebabkan Barat tidak kritis terhadap masalah Holocaust

  1. Masalah psikologis, yang disebabkan oleh rasa bersalah. Pembantaian Yahudi ini dianggap sebagai hal yang memalukan hingga Barat tak mampu melihat isu Holocaust secara kritis.
  2. Masalah moral. Barat ingin menghapus dosa masa lalu dengan memberi tempat tinggal kepada bangsa Yahudi. Ironisnya, Barat memberikan tempat tinggal dari tanah Palestina yang tak bersalah.
  3. Masalah politik. Pada masa perang Dingin dukungan pada Israel dikaitkan dengan upaya membendung komunisme dan nasionalisme Arab di Timur Tengah yang kaya dengan minyak.
  4. Masalah komunikasi. Seperti yang sudah diketahui bahwa media massa paling berpengaruh di dunia dikuasai oleh orang-orang Yahudi. Hal yang tentu saja dapat mempengaruhi opini yang akhirnya berpihak pada Yahudi.
  5. Masalah ekonomi. Dengan uang Yahudi yang digerakkan oleh New York-lah yang memutar perekonomian dunia. Bahkan dengan uang Yahudi, seseorang bisa terpilih sebagai seorang presiden yang dapat disetir demi kepentingan Yahudi.
Alasanku membaca buku "The Holocaust Industry"

Sebenarnya buku The Holocaust Industry ini sudah saya beli 14 tahun yang lalu. Tapi saya malas bacanya. Alasannya? Buku ini berat. Seberat rindu. Rindu akan kebenaran. Seperti yang dibahas oleh penulis buku ini. Alhamdulillah, aku pun akhirnya membaca buku berat ini untuk memenuhi tantangan RC Odop 7.

Buku yang ditulis oleh Norman G. Finkelstein yang juga seorang peranakan Yahudi ini mengupas tentang Industri Holocaust yang hanya menguntungkan sebagian golongan saja. Sementara korban sejarah sesungguhnya, hanya bisa menyaksikan bagaimana penderitaan masa lalu mereka dikomersilkan.

Ironis memang, masih banyak orang yang mengeruk untung dari kesusahan orang lain

Sementara beberapa orang tak berani mengungkapkan kebenaran, karena terjebak dengan kenyamanan finansial, buku Finkelstein dengan berani mengungkapkan fakta yang provokatif berdasarkan fakta yang layak dikemukakan.

Finkelstein yang juga mengajar ilmu politik di DePaul University di Chicago ini menulis buku Image and Reality of the Israel-Palestine Conflict yang populer di tahun 1998 oleh New York Book Review, menjadikan buku ini layak dijadikan referensi bacaan kita.

So, aku pun berpikir bahwa buku-buku sejenis ini dapat dijadikan salah satu tantangan bagi RC Odop selanjutnya. Buku yang dapat membuka pandangan kita tentang sejarah di masa lalu. Menyadarkan kita tentang arti kebenaran yang tak bisa dibungkam oleh apa pun. Kebenaran yang bisa dikenal lewat goresan kata yang kita baca dan kita tulis ulang. Semoga bisa jadi perpanjangan kebaikan di masa depan.

Saturday 21 March 2020

Review Kastil Karya Franz Kafka


Judul Buku : Kastil
Penulis        : Franz Kafka
Penerjemah : Aa Ismanto
Penyelaras Akhir : Rain
ISBN               : 978-602-391-505-7
Tebal              : 460 halaman

Kastil disiapkan untul publikasi setelah kematian Kafka oleh Max Brad dan diterbitkan oleh Kurt Wolff Verlag di.Munich pada tahun 1926. Teks ini berhenti di peristiwa saat K meninggalkan Frieda merawat Jeremias di Herrenhof.
Buku karya Franz Kafka, penulis yang dikenal dengan tulisan absurdnya ini diterbitkan setelah kematian Kafka.

Kutipan di atas kuambil dari cover belakang novel Kafka yang bersampul  putih ini. Novel yang menurutku lumayan tebal.

Tulisan Kafka ini menarik perhatianku karena tulisan Kafka yang pernah kubaca saat kuliah dulu. Metamorphosis. Meski aku tak begitu paham dengan maksud yang tersirat di balik cerita-cerita Kafka, aku baca saja. Paling tidak, aku dapat menambah khazanah perbendaharaan kata-kataku.

Sementara Metamorphosis berkisah tentang Gregor Samsa, seorang salesman yang terlepas dan terbuang dari lingkungannya, Kastil bercerita tentang K dan persinggungannya dengan karakter lain yang penuh gejolak. Tentang usaha K mencari jati dirinya di antara perjalanannya menuju Kastil.

Novel yang menggunakan sudut pandang orang ketiga ini menggambarkan tentang sifat manusia yang lemah. Ketidakteguhan yang membuatnya berusaha mencari pengakuan dari orang lain.

Menurutku, mungkin, tulisan Kafka dipengaruhi oleh masa kanak-kanaknya yang sulit mendapatkan pengakuan dari sang ayah.

Tokoh K yang di awal cerita digambarkan tersesat dalam perjalanannya menuju Kastil. Ia pun menghabiskan malam di atas tikar jerami di sebuah penginapan di desa itu. Bahkan istirahatnya pun terganggu karena penduduk desa penasaran dengan jati dirinya.

Aku sih sedikit terkesan dengan perkataan K saat berbincang dengan Freida, kekasih Klamm:

"...Tetapi banyak rintangan berat di dunia, mereka menjadi semakin besar, dan tak perlu malu untuk meyakinkanmu bahwa ada seorang laki-laki yang mungkin kecil dan tak berpengaruh, tetapi siap untuk bertarung..." (hal.66)

Point yang kudapat dari membaca buku ini adalah tentang seorang K yang berusaha mencari ruang pengakuan bagi dirinya di dunia ini. K ingin mendapati dirinya di tengah orang-orang yang memahami keinginan dirinya, hasratnya, ketakutan dan harapannya. Sayangnya, ketakutannya untuk mengambil risiko dalam menggali potensi dirnya membuatnya terjebak di tempat yang sama tanpa disadarinya.

So, buku setebal 460 halaman ini cukup bagus buat dibaca. Terutama buat kamu yang suka dengan karya Kafka yang terkesan sedikit absurd. Penasaran? Selamat membaca!


Thursday 12 March 2020

Karakter Hester Prynne dan Arthur Dimmesdale dalam The Scarlet Letter


A good man's prayers are golden recompensate (hal. 336)

Membaca buku yang sudah lama kudownload ini membuatku berpikir ulang tentang arti cinta, kejujuran, dan keberanian. Arti tentang hidup.

Buku yang kubaca untuk memenuhi tantangan Reading Challenge Odop yang temanya genre romance. Genre yang lebih sering kubaca dibanding genre lain.

The Scarlet Letter karya Nathaniel Hawthorne merupakan karya klasik yang asyik dibaca. Apalagi kalau kita tertarik membahas tentang cinta dari sudut yang berbeda. Cinta yang penuh keberanian dan pengorbanan.

Kisah The Scarlet Letter yang diperankan oleh dua tokoh sentral, Hester Prynne, seorang wanita muda cantik yang dihukum dengan mengenakan tanda 'A' di dadanya karena dosa perzinahan yang ia lakukan  dan Arthur Dimmesdale, seorang reverant muda yang tampan dan pintar. Ada juga Pearl, putri kesayangan Hester, yang cerdas dan ceria.

Kisah dimulai dengan persidangan atas Hester Prynne yang dilakukan di depan banyak orang. Hester yang menggendong Pearl yang masih bayi, mengenakan baju merah dengan simbol 'A' (Adultery yang artinya perzinahan) dengan tabah menghadapi kemarahan dewan gereja dan masyarakat. Hester juga menolak memberitahu nama 'ayah' Pearl. Hal yang membuat gereja marah dan menjebloskan Hester ke penjara.

Keteguhan dan ketabahan Hester menghadapi guncingan dan hinaan warga tak menyurutkan perundungan terhadap putrinya. Tapi, Hester tetap bertahan dan sabar mengakui kesalahannya. Ia juga berusaha menghidupi dirinya dan Pearl dengan kerja keras sebagai penjahit. Keahliannya diakui oleh banyak orang. Termasuk gereja. 

Hester pun tidak membenci ayah Pearl, meski ia tak berani mengakui dosa bersama dirinya. Hester juga tidak mengajarkan Pearl untuk membenci siapapun.

Hester dengan bahagia merawat Pearl, dan menyayanginya. Ia tidak malu dengan keberadaan Pearl. Meski ia menyadari bahwa dirinya tak pantas memiliki berkah seperti Pearl karena dosa-dosanya.

Kesadaran yang membuatnya makin menghargai pemberian Tuhan, lebih mencintai hidup.

Sedang tokoh lain yang membuatku geregetan adalah Arthur Dimmesdale. Seorang pendeta muda yang tampan dan baik. Sayang, ia begitu takut menodai jubah suci gereja yang ia kenakan. Padahal, ia menyadari bahwa ia tak pantas lagi mengenakan jubah simbol kebesaran gereja itu.

Memahami tokoh Dimmesdale ini seperti berusaha mengenal diri sendiri. Sosok yang berjuang meraih derajat mulia di mata masyarakat. Meski harus mengorbankan hati nurani. 

Sosok Dimmesdale yang hidup dalam ketakutan, kekhawatiran dan penyesalan ini mewakili sosok manusia yang tak ingin melepaskan derajat mulia di mata masyarakat. Padahal hatinya berkubang dalam kesedihan dan penderitaan karena dosa yang ia lakukan.

Selanjutnya, ada tokoh Pearl, buah cinta Hester. Tokoh tanpa dosa yang mencari kasih sayang ayah yang tak ia dapatkan. Pearl yang penuh rasa ingin tahu atas segalanya, termasuk perundungan yang sering ia dan ibunya dapatkan. Tokoh yang menggambarkan ketulusan, dan keberanian hingga melunturkan stigma bahwa buah dosa itu tak suci atau bernoda. Tokoh ini seolah menjelaskan bahwa ia tak bersalah. Ia hanya terlahir dari perbuatan dosa.

Akhirnya, aku pun berpikir bahwa cinta itu dapat memaafkan. Seberat apapun dosa kita. Sebagai manusia, kita tak berhak menilai orang lain kecuali apa yang kita ketahui karena belum tentu kita lebih baik. 

Judul buku   : The Scarlet Letter
Penulis          : Nathaniel Hawthorne
Penerbit       : Planet PDF
Tebal             : 394 halaman

For more free eBook visit our Web site at http://www.planetpdf.com/

Saturday 7 March 2020

Review Awal dan Akhir Novel Karya Naguib Mahfouz


Judul           : Awal dan Akhir
Penulis        : Naguib Mahfouz
Penerjemah : Anton Kurnia dan Anwar Holid
Pengantar  : Supardi Djoko Damono
Penerbit      : Yayasan Obor Indonesia 2000
ISBN            : 979-461-352-5
Tebal           : 310

Ia (Mahfouz) bukan hanya seorang Hugo dan seorang Dickens, tetapi juga seorang Galsworthy, seorang Mann, seorang Zola, dan seorang Jules Romain. (Edward Said dalam London Review of Books)

Saat aku membaca pengantar novel ini, ketertarikan membaca novel ini muncul. Novel yang ditulis oleh Naguib Mahfouz, seorang penulis dari tanah Mesir yang banyak menulis tentang "pemberontakan" hingga menarik perhatian Barat.

Novelnya yang berjudul Awal dan Akhir ini pun menceritakan kritik yang tersirat tentang keadaan ekonomi di Mesir pada saat itu. Juga mengenai pandangan universal yang berakar di masyarakat.

Novel yang mengungkapkan tentang kemiskinan, masalah sensitif di masyarakat yang begitu mendesak untuk dibahas, dan dicari solusinya.

Masalah kemiskinan yang memetakan perbedaan besar antara si kaya dan si miskin, antara penguasa dan yang dikiasai, dan antara yang kuat dan tak berdaya.

Novel yang dimulai dengan kisah dua anak laki-laki yang diberitahu di sekolah bahwa ayah mereka telah meninggal. Ayah, yang merupakan satu-satunya pencari nafkah di keluarga itu. Kegoncangan dan kebingungan mendera keluarga yang harus hidup tanpa penopang hidup. Sementara anak tertua keluarga ini pun tidak bisa diharapkan.

Penderitaan dan kesedihan keluarga ini terus berlanjut, hingga anak perempuan keluarga ini pun menjadi tukang jahit, dan terjebak dalam pahitnya pilihan hidup. Semuanya karena keputusasaan dan ketidakberdayaan dalam menjalani hidup ini.

Keputusasaan yang didasari atas rasa sendiri. Diabaikan. Tanpa penolong. Bukankah kita ini mahluk yang rapuh tanpa bantuan orang lain? Tanpa kasih sayang dari sekitar kita?

Meskipun mereka tetap berusaha yakin pada kebaikan Allah, keputusasaan dan keterasingan dari dunia ini membawa akhir penuh tragedi pada novel yang murung ini.

M. M Badawi dalam sebuah artikel untuk The Egyptian Bulletin bulan Juni 1982,  menyatakan keutamaan karya Mahfouz sebagai kritik sosial politik yang dilukiskan sebagai:

Takdir bagi karakter individu adalah mikrokosmos, namun makrokosmos adalah takdir bagi Mesir modern. Tragedi, penderitaan, konflik antara lelaki dan perempuan yang dicerminkan oleh orang-orang dalam novel ini meliputi skala sosial yang lebih besar, perubahan politik dan intelektual dalam sebuah bagian penting dunia Arab modern....(hal. xix)

Menurutku, pergolakan sosial yang terefleksi dalam setiap adegan di novel ini adalah gambaran nyata keadaan sosial yang secara universal terjadi di negara ketiga, seperti Mesir. Gambaran kenyataan yang juga mirip dengan Indonesia.

Aku teringat saat membaca tokoh Hasan, anak tertua di keluarga ini. Tokoh yang cenderung kesulitan mencari ruang bagi dirinya di masyarakat. Terombang-ambing dalam ketakberdayaan karena terbiasa bergantung pada ayahnya.

Tokoh yang mewakili keadaan negara dunia ketiga yang 'bingung' saat negara 'pelindung' meninggalkannya. Limbung karena tak adanya kemandirian dalam berkarya. Terbiasa mengandalkan negara lain untuk memenuhi kebutuhannya.

Selanjutnya, tak adanya kerabat atau teman yang mengulurkan bantuan pada keluarga ini membuat keterpurukan makin menyelimuti. Seolah tak ada jalan keluar, bagai suatu negara yang terisolasi karena kemiskinannya. Ditambah tak adanya sumber daya manusia yang bisa diandalkan untuk menghidupi.

Kemudian ada tokoh Nafisah, anak perempuan yang terombang-ambing dengan hasratnya sebagai seorang gadis terhormat dan menjaga keutuhan keluarga. Pilihan yang berat, sementara kepentingan perut tak bisa ditunda.

Nafisah yang menggambarkan warga suatu negara ketiga yang begitu berhasrat untuk menunjukkan kecantikannya pada dunia. Ia berusaha memenuhi hasrat kewanitaanya yang secara alami merupakan hal yang wajar. Sayangnya, pengetahuannya tentang dunia yang terbatas membuatnya terjebak dalam urusan perut semata. Kebodohan menyebabkannya tak bisa menghargai dirinya sebagai seorang wanita. Memilih mengakhiri hidup dibanding menghadapi kenyataan.

Tokoh ibu di novel ini pun digambarkan nyata dalam perjuangannya mempertahankan biduk rumah tangga setelah nahkoda pergi. Ia berjuang memegang kemudi yang tak ia kenal, sementara kapal perlahan karam.

Perjuangan yang seakan menemui titik akhir, saat usaha selalu bertemu kegagalan. Hal yang seharusnya dapat dihindari jika ada kolaborasi atau bantuan dari pihak lain atau keluarga. Kerabat atau  teman yang bersedia mengulurkan bantuan agar penderitaan dapat dibagi. Tak terlalu berat hingga menimbulkan akhir yang begitu tragis. Penyesalan dan kematian.

So, membaca buku ini menyadarkanku tentang pentingnya menjaga rasa kasih sayang pada sesama. Mengingatkan tentang pentingnya berbagi pada sekitar kita. Hal yang mengingatkanku atas ucapan seorang teman, "Kebaikan itu dapat menghindarkan penderitaan baik bagi pemberi maupun penerima."

And The Mountains Echoed: Harapan dalam Keputusasaan

Manaar tergeletak di kasur tipis, butut dan bau   di antara kasur-kasur serupa di ruangan sempit itu. Tubuhnya kurus dengan benjolan membesa...