Saturday 8 February 2020

Review San Pek Eng Tay: Romantika Emansipasi Seorang Perempuan


Isu emansipasi perempuan bukanlah barang baru. Kita akan temui isu ini menyeruak ke permukaan melebihi buih, lebih dari berabad silam. Isu yang tetap panas, meski telah lama meninggalkan 'oven'. Pertanyaannya sekarang, apakah isu ini masih relevan dengan zaman yang sudah memasuki era Society 5.0. Zaman yang sudah mengintegrasikan dunia digital dengan dunia nyata.

Aku teringat dengan tulisan yang sedang kubaca "San Pek Eng Tay karya OKT, Oey Kim Tiang yang seorang peranakan Cina generasi ke-2. Buku yang ia tulis sebagai bentuk perhatiannya terhadap tragedi pemutarbalikan citra dari kisah 'San Pek Eng Tay' yang telah mengakar di masyarakat. Citra kisah yang sebatas romantika ala Romeo and Juliet yang sebenarnya merupakan tema sekunder dibanding tema emansipasi perempuan yang jadi tema primer di buku ini. Kisah perjuangan seorang perempuan mendobrak pandangan minoritas di masyarakat.

Kisah dimulai saat Eng Tay muda yang berusia 17 tahun berusaha memenuhi cita-citanya untuk belajar ilmu budaya. Eng Tay yang cantik dan pintar ini memang berbeda dengan gadis lain. Selain pintar, ia pun memiliki keterampilan seorang gadis pada zamannya. Hingga papa dan mamanya begitu mencintai putri semata wayangnya ini. Semua cinta tercurah pada Eng Tay. Cinta sang papa, Ciok Kong Wan yang dalam ini juga yang menyebabkan Eng Tay sulit untuk mengejar cita-citanya untuk melanjutkan pelajarannya di Hong-ciu. Kong Wan menganggap seorang perempuan tidak perlu menempuh pendidikan seperti laki-laki..

"Kenapa kau bicara seakan-akan bermimpi di siang hari? Kau tahu, Nabi Khong mempunyai murid tiga ribu orang lebih, adakah muridnya wanita? Pek Ciu pasti tidak akan menyimpang dari nabi kita itu dengan menerima murid perempuan? Oh, anakku, andaikan pun papamu mengizinkan, di sana kau pasti akan membentur tembok penghalang, kau akan pulang sia-sia saja! Maka dari itu, Nak, kuanggap kata-katamu itu sebagai igauan!" (hal 8)

Pandangan Kong Wan ini merupakan pandangan yang lumrah di zaman itu. Wanita pada zaman itu hanya menempuh pendidikan di rumah saja, itu pun jika ia terlahir dari keluarga terpandang seperti keluarga Ciok Kong Wan. Sebagian besar wanita di zaman itu tidak memiliki kesempatan menuntut ilmu. Sehingga sempat tercetus ucapan Eng Tay bahwa ia terlalu cepat lahir. Ia merasa lahir di zaman yang belum siap menerima pemikirannya. Meski begitu, Ciok Eng Tay tetap berusaha berjuang meraih keinginannya. Eng Tay berjuang keras dengan menyamar sebagai laki-laki di Hong-cu, dan bergaul dengan Nio San Pek. Bahkan ia juga pernah sekamar dengan San Pek. Seorang pelajar baik hati yang jadi teman belajar Eng Tay.

Kebersamaan Eng Tay dan San Pek menumbuhkan rasa sayang, hingga Eng Tay memutuskan untuk memilih San Pek sebagai suaminya. Keputusan yang menunjukkan kekuatan hatinya sebagai wanita. Hal yang juga tak lazim di zamannya mengingat keputusan perkawinan pun ada di tangan orang tua. Bukan anak perempuan.

Keinginan Eng Tay untuk menentukan nasibnya sendiri dengan menuntut ilmu di Hong-cu dan memilih sendiri calon suaminya adalah usaha Eng Tay memperjuangkan emansipasi wanita. Ia tak gentar melawan hegemony kekuasaan pria untuk menentukan nasib sendiri. Pandangan yang banyak dipengaruhi oleh Konfusius. Eng Tay yakin bahwa wanita pun memiliki hak yang sama dengan laki-laki. Eng Tay yang mempelajari hal tersebut, berpikir kritis dan berusaha mendobrak pemahaman itu.

Kisah San Pek Eng Tay ini mengingatkanku dengan kisah Siti Nurbaya. Kisah yang menggambarkan tentang kaum wanita yang diperlakukan sebagai kaum yang seolah tanpa keinginan. Kisah yang juga berakhir tragis.

Membaca kisah ini, menggugah semangatku untuk terus belajar dan belajar. Aku pun merasa bersyukur terlahir di zaman di mana wanita bisa belajar dan mengembangkan diri dengan kesempatan yang sama dengan kaum pria. Kesempatan yang belum diperoleh oleh Eng Tay dan wanita lain di belahan dunia lain karena keterbatasan fasilitas dan sarana pendukung.

Anyway, buku ini bagus buat dibaca dan menarik. Apalagi bagi kamu yang suka baca kisah romantis. Meski kisah ini tragis, kita dapat mengambil hikmah tentang persahabatan, kasih sayang, keberanian, kejujuran dan keteguhan hati. Aku sih, terharu saat San Pek jatuh sakit karena kesedihan yang dalam memikirkan Eng Tay yang ia cintai. Hingga memesan dua nisan bagi dirinya dan Eng Tay! San Pek berusaha memenuhi janjinya pada kekasihnya, Eng Tay agar bisa tetap bersama. Di mana pun.

Penasaran dengan kisah yang sudah melegenda dan ditulis ulang oleh OKT meski ia sudah berusia 85 tahun? Yuk, baca buku ini. Dijamin kamu bagai melayang ke negeri jauh ini, Cina. Negeri yang terkenal dengan kekayaan budaya dan tradisinya.

Bandarlampung, 8 Februari 2020

No comments:

Post a Comment

And The Mountains Echoed: Harapan dalam Keputusasaan

Manaar tergeletak di kasur tipis, butut dan bau   di antara kasur-kasur serupa di ruangan sempit itu. Tubuhnya kurus dengan benjolan membesa...