Showing posts with label cinta. Show all posts
Showing posts with label cinta. Show all posts

Friday 28 August 2020

Review All the wrong substraction karya Khawaja Ali Zubair

Berlatar di negara Muslim bekas jajahan Inggris, Pakistan menjadikan cerita ini unik. Apalagi dengan tema cinta yang menyelimuti seluruh kisah yang ditulis dari sudut pandang orang pertama ini. Nadir Husesni. Kisah yang terkesan sedikit gloomy namun memberi gambaran bahwa hidup itu begitulah adanya


Stories end where love begins. This story starts right where love ends.


Itu kata-kata awal yang menurutku cukup dalam maknanya. Kata-kata yang bikin aku sedikit kecele. Kupikir kisah ini akan berputar di kisah cinta semata. Ternyata, aku nggak salah. Hanya saja, versi cinta yang hadir di sini, mungkin berbeda dengan yang kita bayangkan. 

Sinopsis

Kisah yang diawali dari berakhirnya cinta seorang Nadir Husseni pada gadis pujaannya. Linah Rafiki. Gadis yang justru memilih pria lain. Minavan Malik. Padahal Nadir begitu mencintainya. Bahkan menjadikannya sebagai tujuan dari karir sprinternya. Begitu ia pikir.

Perasaan Nadir yang void dengan emosi akibat patah hati tak berubah. Ia merasa hambar. Tak menikmati sambutan meriah Mr. Husseni akan kemenangannya sebagai seorang sprinter. Nadir merasa sebagai seorang pecundang karena hanya memperoleh perunggu. Apalagi penyemangatnya untuk mencapai garis finish tak lagi jadi miliknya. Ia kehilangan tujuan dan semangat hidup. Nadir merasa hidupnya sia-sia. Ia merasa kalah dan memutuskan untuk keluar dari Tirah University. Ia lari. Meninggalkan cinta dan segala kenangan pahit. Termasuk sahabatnya. Lounger.

Lalu, berkat koneksi ayahnya, Nadir bisa pindah di universitas lain dengan mudah. Ia menemukan banyak hal baru. Termasuk teman. Farah Malik. Gadis yang ternyata adalah sepupu Minavan Malik. Orang yang ia benci.

Namun, rasa benci memang tak bisa menghilangkan simpati dan kebaikan seseorang. Nadir pun bersahabat dengan Farah. Persahabatan yang menjadikan Nadir sebagai seorang yang berbeda. 

Nasib memang mengombang ambingkan perasaan dan diri manusia. Termasuk Nadir. Ia harus menelan pil pahit yang ia tahan dan telan dengan terpaksa. Ini terjadi karena anak tertua keluarga Husseni, Marium Husseni ternyata akan menikah dengan Yasir Malik. Kakak dari Minavan Malik. Musuh besar Nadir Husseni. Orang terakhir ingin Nadir lihat. Apalagi dijadikan keluarga. Tapi, nasib memang selalu berkata lain. Begitu pun nasib juga yang membawanya untuk bertemu dengan Dadhey Siddique. Pemuda kharismatik yang menarik hati Nadir. Ia tak menyangka bahwa Dadhey adalah saudara tiri dari Minavan.

Nah, pertemuan Nadir dan Dadhey inilah yang mengawali ikatan erat bermakna keduanya. Mereka berdua berkonspirasi membalas perbuatan Minavan yang telah merebut cinta Nadir. Konspirasi yang justru berakhir dengan kematian Dadhey Siddiqui dalam sebuah kecelakaan pesawat. Menyusul ayah dan ibunya.

Nadir yang hancur. Terpuruk. Ia makin membenci Minavan. Membenci dirinya karena tak bisa mengungkapkan perasaannya pada Dadhey. Membuka hati dan meminta maaf atas kekerasan hatinya. Menyesali rasa harga diri yang menahan dirinya untuk mencintai sahabat yang sangat ia hargai. Ia berpikir, kalau saja ia melakukan apa yang seharusnya, Dadhey pasti masih ada di dunia ini. Bersamanya. 

Tapi, suratan nasib memang tak bisa ditolak. Kematian Dadhey menyadarkannya akan hidup, dan menghargai kehidupan. Mencintai orang-orang yang ada di sekitar kita dengan tulus.


Diskusi

Buku yang berlatar tanah Pakistan ini memang agak terkesan gloomy, dan sarat dengan pesan moral. Menggambarkan tentang kisah kehidupan keluarga konglomerat Husseni dan Malik dengan tokoh sentral Nadir Husseni. Tokoh yang terkesan labil dan mudah  terbawa perasaan. Skeptis. Ia juga kurang percaya diri. Mungkin ini terjadi karena ia selalu dengan mudah mendapat apa yang ia mau. Ia juga mendapat pengakuan dari keluarga yang menyayanginya.

Berbeda dengan Dadhey yang selalu duduk di pojok ruangan. Selalu jadi orang luar. Bahkan di keluarga Malik. Meski ibunya menikah dengan Rahat Malik (ayah Minavan dan Yasir). Ia tak benar-benar dianggap keluarga. Ia bahkan memakai seutas kain putih di tangannya sebagai momentum pengingat baginya. Pengingat atas kehilangan besar yang ada hubungannya dengan Minavan. 

Menurutku, tokoh Dadhey yang tak peduli akan harta dan kedudukan ini lebih kuat dibanding tokoh utama. Menggambarkan paradoks manusia cerdas yang tak diterima sekitarnya karena ia istimewa. Meski ia hanya ingin diakui dan dicintai. Sayang, di detik akhir hidupnya pun. Semua orang yang berarti baginya - melepaskan tangan atas dirinya. Hal yang jadi penyesalan bagi Nadir, Rahat, dan Minavan. Hingga saat bayi Marium lahir, mereka menamainya Dadhey Malik. Sebagai pengingat.

Pengingat bahwa seorang yang berarti dalam keluarga ini akan selalu ada dan disayang. Meski tak ada yang bisa menggantikan Dadhey Siddiqui. Paling tidak bagi Nadir Husseni.

Mungkin, seperti penyesalan yang pahit di ujung lidah. Tak ada yang bisa dilakukan selain menelannya. Sebagai manusia, bagaimana pun kita harus terus move on. Penyesalan akan masa lalu tak bisa kita ubah. Kita hanya bisa memperbaiki apa yang akan kita lakukan hari ini. Harapannya, hari ini tidak jadi penyesalan di hari esok.

Nah, sebagai pengingat, aku akan kutip surat terakhir Dadhey yang ia berikan sebelum pesawatnya meledak di angkasa.

Grand words Nadir, good indeed these are. If only you knew me better. If only I had the strenght to go through it all over again. I might have had fewer sentiments to add, less forgiveness to ask for, less meaning to get across and less doubts about whether I have said all I wanted to say. (Dadheys letter to Nadir, right before his plane crashed) page 129 


Bandarlampung, 28 August 2020


Judul buku     : All the wrong substraction

Penulis            : Khawaja Ali Zubair

Tebal buku      : 177

Bentuk buku    : pdf

Saturday 25 July 2020

Idul Adha: Refleksi Cinta pada Allah

Idul Adha, hari besar yang dirayakan umat Islam di seluruh dunia adalah momen bersejarah. Hari yang mengingatkan kita semua tentang rasa cinta yang dibuktikan dengan berkurban. Membagikan sebagian rezeki dengan mengurbankan hewan kurban bagi yang mampu.

Idul Adha yang juga merupakan perayaan wujud cinta pada Allah melalui pengorbanan nabi Ibrahim atas anaknya, Ismail. Rasa cinta dan ketaatan yang terefleksi tanpa syarat. Meski pengorbanan Nabi Ibrahim atas Ismail telah Allah gantikan dengan hewan kurban. Sedikit berbeda dengan pengorbanan nabi Muhammad atas cucunya, Husein as yang tak tergantikan.  

Idul Adha mengingatkan kita tentang kisah Nabi Ibrahim, keluarga, dan keturunannya yang menggetarkan hati. Kisah tentang ketaatan dan penyerahan diri secara total. Refleksi cinta hanya pada 
Allah.

Nah, bicara tentang pengorbanan para nabi dan keturunannya ini pasti akan memberi konsep baru tentang arti cinta. Sebagaimana rasa cinta Siti Hajar atas Ismail yang tak melebihi cintanya pada Allah. Hal yang menjadikannya sampai pada level menerima dan ikhlas saat suaminya, nabi Ibrahim, meminta putra kesayangannya, Ismail untuk dijadikan kurban.



Sungguh, level cinta yang mungkin sulit dilampui oleh manusia yang sudut pandangnya adalah materi.

Cinta yang berbeda maqomnya dibanding cinta pada lawan jenis, cinta pada keluarga, atau cinta pada sesama. Cinta ini melebii dari cinta semesta ini sekalipun. Bahkan melebihi dari yang kita ketahui, atau yang bisa kita pahami lewat panca indra.

Menurutku, jika posisi Siti Hajar diberikan pada orang yang cinta dunia, niscaya tak akan ada hari raya Idul Adha. Tak akan ada cinta yang bertebar di dunia bagi seluruh umat karena kerelaan berkurban. Bahkan, mungkin tak akan ada tanah haram, Mekkah. 

Tapi, Maha suci Allah dengan segala firman-Nya.. kekuasaan dan kasih sayang-Nya menjadikan Siti Hajar mampu bersabar dengan ujian Allah tersebut. Kesabaran akan ujian yang melibatkan rasa percaya pada Allah yang kuat. Iman yang kokoh.

Mungkin inilah yang menjadikan Allah menganugrahi rahmat bagi Siti Hajar sebagai ibu seorang nabi besar, Ismail yang kelak dari garis keturunannya akan lahir penutup para nabi. Nabi Muhammad Saw. Suluh umat.

Bahkan, keistimewaan Siti Hajar yang merupakan keturunan salah satu Firaun di Mesir ini, bisa terlihat dari pengabdiannya sebagai seorang istri. Ia rela ditinggalkan di tanah tak bertuan. Tanpa makanan dan tempat berteduh. Kecuali hanya pada Allah.

Aku tak bisa membayangkan kondisi Siti Hajar pada saat itu. Hingga aku pun mengulik sedikit tentang Siti Hajar. Wanita pilihan yang meninggalkan gemerlapnya gelar kebangsawan demi memilih jalan tauhid.



Sejarah Siti Hajar

Menurut sejarah, Siti Hajar yang merupakan putri raja Mesir ini begitu mengagumi mukjizat Nabi Ibrahim. Dikatakan oleh Midrash, Hajar atau Hagar adalah gelar yang diberikan padanya (sang putri). Gelar yang artinya 'reward' atau hadiah.

Siti Hajar yang telah mengimani kenabian Ibrahim rela menukar kesenangan dunia dengan menyerahkan dirinya untuk melayani Nabi Ibrahim. Lalu, Siti Sarah yang telah berumur merelakan Nabi Ibrahim untuk menikahi Siti Hajar agar memperoleh keturunan. 

Sayang, kecemburuan Siti Sarah menjadikannya tak rela hidup bersama madu yang awalnya ia setujui. Siti Sarah meminta Nabi Ibrahim untuk pergi meninggalkan rumahnya. Tanah Palestina.

Ketaatan dan kerelaan Siti Hajar untuk pergi meninggalkan tempat yang ia anggap rumah adalah refleksi cinta pada Allah. Rasa cinta yang terwujud dengan kepatuhan pada suami yang juga patuh atas perintah Allah. Totalitas takwa yang dapat kita renungkan.

Mengapa demikian?

Karena semua wanita bisa menjadi Siti Hajar yang patuh pada suaminya. Seorang nabi pilihan Allah. Nabi suci yang dicintai Allah.

Nabi yang keimanannya Allah uji dengan sangat berat. Salah satunya adalah untuk mengurbankan anak yang ia cintai, Ismail. Padahal Nabi Ibrahim telah lama menanti kehadiran anak.

Lalu, bagaimana jika ada pertanyaan seandainya dirimu adalah seorang Siti Hajar?

Mungkin akan ada beberapa opsi sikap yang dimiliki oleh seorang perempuan yang menyadari tentang posisinya sebagai istri sekaligus ibu.. 

  1. Kesadaran penuh bahwa kedudukannya adalah sebagai seorang wanita yang melengkapi kehadiran dari istri pertama agar dapat memiliki keturunan.
  2. Kesadaran sebagai seorang istri yang tugasnya adalah mematuhi suami yang juga patuh pada Allah.
  3. Kesadaran sebagai seorang ibu yang kecintaan pada Allah melebihi cinta pada anak, hingga menjadikannya dapat bersabar.
Bandingkan jika kamu seorang wanita biasa yang bukan Siti Hajar, dan dihadapkan pada masalah ini, kamu pasti sudah panik. Jika suamimu meminta anakmu untuk disembelih dan dikurbankan atas perintah Allah, kamu pasti akan menganggap suamimu gila dan Tuhan tidak adil.

Manusiawi sekali, mengingat tingkat pengetahuan manusia biasa tidak melebihi dari yang ia ketahui. Bukan berarti aku membatasi kemampuan manusia yang berusaha menyucikan diri, tapi umumnya manusia akan memberi respon yang hampir serupa. Sulit menggapai hal yang tak dapat diindrai.

Hal yang mengingatkanku atas istri nabi yang lain, seperti: istri Nabi Luth, istri Nabi Nuh dan istri Nabi Ayyub. Istri-istri nabi yang ketaatannya terbantahkan oleh sikap materialistik. Kecintaan pada dunia yang melebihi cintanya pada Allah.



Selanjutnya, bagaimana tanggapan Ismail atas perintah Allah pada ayahnya?

Kita bisa mendapati jawabannya dalam Alquran,  surat As Saffat ayat 102 yang artinya;

"Maka ketika anak itu sampai  (pada umur) sanggup berusaha bersamanya, (Ibrahim) berkata, " Wahai anakku! Sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu, maka pikirkan bagaimana pendapatmu!
Dia (Ismail) menjawab, "Wahai ayahku! Lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu. Insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar."

Sungguh, hanya ketakwaan pada Allah saja yang dapat menjadikan seseorang meraih level taat seperti ini. Hal yang tak dapat dijangkau jika cinta pada dunia melebihi kecintaan pada Allah. Refleksi cinta yang terwujud oleh ketaatan Ismail pada ayahnya.

Kepatuhan yang Allah hadiahkan dengan rahmat berlimpah, hingga Allah menggantikan Ismail dengan kurban sembelihan yang besar. Moment bersejarah yang Allah abadikan melalui perayaan Idul Adha. Hari besar yang dirayakan umat Islam di seluruh dunia. 

Moment bersejarah untuk menjaga sifat kemanusiaan manusia. Saling mengasihi antar sesama. Sebagaimana hari Raya Idul Adha ini membangkitkan kesadaran kita tentang pentingnya berbagi. Mungkin itulah rahmat yang Allah berikan bagi Siti Hajar, hingga dianugrahi seorang putra, Ismail yang berarti Allah mendengarnya. 

Seorang nabi istimewa yang dari nasabnya tak akan terputus. Bahkan kelak akan lahir nabi besar dari keturunannya, Nabi Muhammad, Sumber dari awal dan akhir sebuah cinta.


Pernyataan ini timbul dari tantangan teman di grup Blog squad mengenai memaknai cinta. Tema yang berat. Sebagaimana jika aku harus berandai - andai sebagai Ismail. Hal yang butuh perenungan, mengingat aku yang fakir ilmu mengenai hal ini.

Aku hanya membayangkan tentang seorang nabi besar mulia yang suci. Nabi yang di usia belianya telah diuji dengan berat dan lulus. Ujian yang membuktikan tentang ketaatan Ismail pada orang tua sebagai wujud cintanya pada Allah.

Mungkin, kecintaan ini akan sulit dicapai oleh orang awam, kecuali orang - orang yang Allah kehendaki. Orang - orang pilihan yang berusaha dengan keras untuk menyucikan diri.

Dengan kata lain, moment Idul Adha ini adalah saat terbaik untuk memahami dan introspeksi diri. Berusaha menyucikan diri melalui kurban harta, menunaikan haji jika mampu, dan selalu beramal soleh. Lalu, terus berdoa agar dimasukkan dalam golongan orang - orang yang beruntung menerima syafaat. Aamiin.

Bandarlampung, 25 Juli 2020

And The Mountains Echoed: Harapan dalam Keputusasaan

Manaar tergeletak di kasur tipis, butut dan bau   di antara kasur-kasur serupa di ruangan sempit itu. Tubuhnya kurus dengan benjolan membesa...