“… Saya tidak pernah meragukan kebenaran itu sejak (kebenaran) itu ditunjukkan kepada saya. Musa tidak merasa takut bagi dirinya sendiri, melainkan dia prihatin atas kemenangan orang bodoh dan berkuasanya kesesatan. Sekarang kita berdiri di simpang jalan kebenaran dan kebatilan. Orang yang yakin akan mendapatkan air, tidak merasakan haus.” (Puncak Kefasihan, hal: 37)
Siang itu aku ngobrol bareng seorang teman sambil
menikmati bakso Sony yang lumayan terkenal di Bandarlampung. Sambil menyantap
bakso yang panas dan lezat, aku memperhatikan sekelilingku. Kulihat sekelompok
remaja sedang asyik makan bakso dan minum es cendol Sony yang dingin. Paduan
yang maknyus di saat lapar dan haus di siang hari.
Sebenarnya, aku sih tertarik memperhatikan dandanan mereka. Cantik dan imut. Seneng melihatnya. Sayangnya, menurutku mereka terlihat sama dandanannya. Terutama make up yang dikenakan. Persis seperti artis
Korea.
Aku pun (dulu) seorang penggemar drakor aka drama
Korea. Jadi, aku mengerti gimana rasanya mengidolai bintang K-Pop selevel
Big Bang, Girl Generation, dan SNSD yang super kece itu. Flawless, jago menari
dan menyanyi serta jago acting. Package idola yang mendekati sempurna. Gimana
nggak kepincut ingin seperti mereka, ya kan?
Mungkin itulah yang bikin gelombang Korean wave merebak di tahun
2000an. Hingga banyak remaja yang berlomba-lomba untuk mengikuti trend yang
diperkenalkan bintang idola mereka dari kosmetik, baju, sepatu, jam tangan, hingga
gawai Samsung. Bahkan mereka rela menabung dan meminjam uang demi membeli
produk yang digunakan idola mereka. Termasuk membeli tiket konser live jika sang idola datang ke Indonesia.
Menurut data KBS World TV yang menyediakan pelayanan streaming program Korea di twitter saja sudah tembus di angka 100.000
followers. Sedangkan KPop Indonesian di
instagram ada di angka 417.000 followers
dengan facebooknya yang bisa meraup traffik pengguna di kisaran 700
ribu likes per tautan.
Dampaknya, sih mulai terasa dari makin maraknya pembelanjaan produk-produk ala Korean. Bahkan mengikuti tren drakor Korea teranyar, seperti The World of The Married, Touch, Dr. Romantic 2, Crash Landing on You dan lain-lain. Para K-Popers rela mengorbankan banyak waktu dan uang demi bintang pujaan. Mereka ingin diakui sebagai remaja yang
mengikuti tren. Tak sadar bahwa tren konsumtif ini tak membawa kebaikan, tapi
kemudhorotan.
Ali bin Abi Thalib, Sosok Mulia Sepanjang Zaman
Sekarang ini, bergesernya moral generasi muda yang
lebih tertarik dengan gaya hidup kekinian yang cenderung konsumtif, hedonism
dianggap hal yang biasa. Padahal gaya hidup pop ini mengakibatkan
generasi muda melupakan budaya Islami yang mengutamakan kesederhanaan. Budaya
yang berakar dari pemahaman tentang figur mulia Nabi dan keluarganya. Terutama
figur Ali bin Abi Tholib yang dikenal sebagai pintunya ilmu. Pemisah surga dan
neraka.
Dalam artikel “Dampak Modernitas K-Pop pada Gaya Hidup
Siswi Berbasis Pesantren,” yang ditulis oleh Sholihah dan Sudrajat (2019) dapat
diketahui mengenai budaya pop yang bertolak belakang dengan budaya Islam.
Dampaknya yang bisa dilihat dari dimensi aktivitas, minat, dan opini.
Pada dimensi aktivitas dapat diketahui dari bagaimana
penggemar K-Pop memberikan prioritas dari membelanjakan produk yang berkaitan
dengan K-Pop. Pada dimensi minat, penggemar K-Pop akan menyukai dan hanya akan
membeli produk bernuansa K-Pop. Pada opini, mereka akan menganggap bahwa
K-Popers ini memberi dampak positif bagi intensitas penjualan produk K-Poper
yang menguntungkan masyarakat. Mereka berasumsi bahwa mengikuti
perkembangan budaya K-Pop sudah sesuai dengan tuntutan tren modernitas.
Budaya pop yang dianggap tren ini mengakibatkan
tingkat konsumerisme yang tinggi di kalangan generasi muda. Budaya konsumtif
yang dianggap positif oleh sebagian orang, namun makin menjauhkan generasi muda
dari perenungan dan logika. Perenungan bahwa dunia ini hanya sementara, dan
logika bahwa K-Pop ini hanyalah satu dari budaya kapitalis yang bikin kita
makin lupa pada Allah. Lupa bahwa budaya terbaik adalah yang dicontohkan model
pemuda sepanjang zaman. Ali bin Abi Thalib.
Mengenal Ali Bin Abi Thalib
Pemuda Ali yang dikenal sebagai sepupu Rasulullah,
suami Fatimah Azzahra binti Muhammad, dan ayah dari Hasan dan Husein yang
begitu dicintai Nabi. Ali yang sejak kecil selalu berada dalam lingkungan
kenabian, dan dalam bimbingan langsung pamannya. Muhammad bin Abdul Mutthalib.
Nabi suluh umat. Kedekatan keduanya diibaratkan bagai Harun dan Musa. Tak
terpisahkan.
Ali bin Abi Thalib terlahir dari rahim seorang ibu
yang bernama Fatimah binti Assad bin Hasyim bin Abd Manaf dan ayah bernama Abu
Thalib bin Abdul Mutthalib bin Hasyim bin Abd Manaf. Diceritakan bahwa sejarah
mencatat Ali bin Abi Thalib sebagai pemuda pemberani yang kezuhudannya tergambar
dalam perkataan dan perbuatannya.
Beliau dikenal sebagai pemuda pertama yang menerima
kenabian, dan orang kedua setelah Khadijah binti Khuwailid, istri Nabi SAW.
Kedekatannya dapat diketahui sejak awal kenabian Rasulullah. Ali selalu
mengikuti Nabi bagai anak unta pada induknya.
Ketaatannya pun terlihat dengan kepatuhan Ali untuk
tinggal di rumah Nabi dan tidur di kasur Nabi, saat Nabi bersama Abu Bakar
Siddiq hijrah ke Madinah. Ali menjalankan perintah Nabi dengan keberanian dan
tanpa rasa ragu. Ali tak pernah takut akan kematian.
Dalam sejarah tercatat seorang sahabat Amirul
Mukminin, Hammam menanyakan tentang gambaran orang takwa. Ali menjawab dengan
anjuran agar bertakwa pada Allah dan melaksanakan amal shaleh karena, “sesungguhnya
itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang sabar.” (QS. 16: 126)
Pencapaian Ali bin Abi Thalib
Sebagaimana kita ketahui bahwa pencapaian karir
politik Ali bin Abi Thalib dimulai sejak masa kanak-kanak. Di masa anak-anak ia
telah menundukkan kepala lelaki Arab yang kenamaan, kepala suku Rabi’ah dan
Mudhar. Ia juga mematahkan ujung tombak mereka.
Imam Syafi’i menggambarkan sifat Ali dengan sifat
pemikiran yang derajatnya paling baik,
“ Apakah yang dapat kukatakan tentang orang yang dalam
dirinya terdapat tiga sifat dengan tiga sifat lainnya, yang tidak pernah
bersama-sama dalam diri siapa pun lainnya – kemurahan hati dengan kesusahan,
keberanian dengan kebijaksanaan, dan ilmu pengetahuan dengan sifat amaliah.”
Ali mengibarkan bendera Islam di usia 16 tahun sebagai
komandan pasukan termuda di zamannya. Ia juga komandan perang Khaibar yang
dicatat sebagai perang yang cukup fenomenal. Bagaimana seorang Ali bin Abi
Thalib yang mampu mengangkat benteng Khaibar dengan tangannya sendiri, dan
memenangkan perang tanpa memakan banyak korban. Keberaniannya juga terbukti
dengan ikut dalam hampir di setiap perang (kecuali perang Tabuk) membela Nabi. Menegakkan panji kebenaran.
Beliau juga ditunjuk sebagai khilafah keempat dalam
kepemimpinan umat, menggantikan Usman bin Affan. Masa kepemimpinan yang sulit
dengan gejolak politik yang hebat, hingga mengakibkan terjadinya perang
Shiffin. Konflik yang ditangani dengan bijak dibawah kepemimpinan Ali bin Abi
Thalib. Beliau mampu meredam konflik dengan mengirim pasukan wanita berpakaian
pria untuk mengatasi masalah itu.
Keutamaan Utama Ali bin Abi Thalib sebagai Model
Generasi Muda
Adapun keutamaan Ali bin Abi Thalib yang lain adalah
kecintaannya pada orang miskin. Meski dalam kesederhanaannya, beliau tak pernah
membiarkan orang mengetuk pintu rumahnya dan pergi dengan tangan kosong.
Diceritakan pernah suatu ketika saat ia dan
keluarganya harus menahan lapar, dan berpuasa hingga dua hari, hingga Ali
mencari rezeki dan mendapat makanan untuk berbuka mereka. Saat itu seseorang
datang mengetuk rumahnya untuk meminta makanan, maka diberikanlah makanan
tersebut. Keluarga itu kembali berpuasa.
Bandingkan dengan budaya K-Popers yang cenderung
berfoya-foya. Menghamburkan uang pada hal yang kurang dibutuhkan, seperti:
membeli tiket konser idolanya dengan menghabiskan uang gaji sebulan, atau rela
meminjam uang demi membeli busana seperti idola. Mengorbankan hal yang lebih
prioritas.
Bukan berarti kita harus hidup menderita dan
berkesusahan tanpa hiburan, tapi sesuatu yang berlebihan itu yang tidak
dianjurkan. Kecuali, dengan kecintaan kita pada K-Pop akan membawa kita jadi
pribadi yang lebih cinta sesama dan sering bersedekah – maka budaya ini baik
untuk ditiru.
Sebagaimana kemuliaan Ali bin Abi Thalib dan
keluarganya yang bahkan di tengah kesederhanaannya, ia masih mampu bersedekah
pada yang membutuhkan. Beliau pun pernah bersedekah di tengah shalatnya. Masya
Allah. Ia tak pernah mengecewakan hati orang miskin yang memohon bantuannya.
Ilustrasinya sih, jika dengan mengikuti budaya K-Pop,
kita menjadi pribadi baik dan agung, maka budaya ini mungkin bisa dijadikan trensetter. Begitupun sebaliknya. Budaya yang berlebihan itu tak membawa kebaikan. Mendekati
jalan yang menyimpang dari kebenaran.
“ Adapun orang-orang yang menyimpang dari kebenaran,
maka mereka akan jadi kayu api bagi neraka jahanam.” (QS, 72:15)
Mengerikan, ya? Ancaman Allah ini kiranya dapat dijadikan pertimbangan dalam mencari teladan terbaik dalam hidup kita. Kita nggak mau jadi kayu api neraka, kan? Jadi, meskipun budaya K-Pop membawa warna lain pada perekenomian Indonesia, kita sebagai generasi muda dapat berpikir dan merenung sebelum bertindak dengan meniru buta.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Syarif Radhi dalam pembuka buku ini bahwa,
“ …..Mereka telah diberi waktu untuk mencari keselamatan, telah ditunjuki jalan yang benar dan telah diberi kesempatan untuk hidup dan menuntut kebajikan…”(hal: 181)