Tuesday 18 August 2020

It's Okey To be Schizophrenia, Tuhan Tetap Mencintaimu: Jadi Berbahagialah

 Bismillah,


Halo gaes. Apa kabar semua? Semoga teman -teman semua selalu sehat, meski di tengah kondisi yang serba terbatas dikarenakan pandemi ini. Kondisi yang mungkin bisa mengganggu kesehatan mental kita. Hal yang bisa mengganggu kualitas hidup kita.

Nah, kali ini aku akan bercerita tentang kisah keluargaku yang mungkin berhubungan dengan kesehatan mental. Tema yang kental membayangi kita, mengingat makin beratnya beban hidup hingga kesehatan mental menjadi salah satu faktor pendukung kualitas hidup yang baik. Sayangnya,  hidup ini nggak selalu rose and sunny. Hingga aku menulis judul ini, " It's Okey tobe Schizophrenia, Tuhan Tetap Mencintaimu: Jadi Berbahagialah." A glimpse of my family story who still struggling to live with Schizho. Kisah sederhana yang mungkin mewakili kisah-kisah lain yang dialami keluarga-keluarga lain dengan kasus yang sama. Tulisan yang kuharap bisa kasih gambaran bahwa being Schizophrenia nggak akan menutup harapanmu untuk meraih kebahagiaan.

Baiklah, aku akan mulai ceritaku..

Hari ini adalah hari Minggu, 16 Agustus 2020, hari ketujuh adikku mengalami episodenya yang biasanya berlangsung dalam kurun tiga sampai sepuluh hari. Tergantung kondisi ketenangannya. Ini adalah episode kedua dalam tahun ini. Episode pertama terjadi di bulan Maret, dan berlangsung kurang lebih selama seminggu. Ini terjadi karena level kecemasan dan ketidaktenangannya karena kakak iparku yang meninggal di bulan Desember. 

Eh, mungkin sebagian dari kalian belum tahu episode ini apa, ya? Ini tidak ada kaitannya dengan episode film. Ini adalah masa di mana seorang penderita schizophrenia mengalami relapse dengan symptom, seperti: wajah tanpa ekspresi, bicara tak koheren atau bicara sendiri, sulit tidur, kurang memperhatikan kebersihan diri, reklusif (menutup diri), dan mudah tersinggung.

Menurut data yang kubaca, kondisi ini bisa berangsur membaik dan berkurang intensitasnya. Tergantung kondisi psikis penderita yang sangat dipengaruhi oleh lingkungan sekitarnya. Terutama lingkungan keluarga.

Penderita juga, menurutku akan bisa terus dalam kondisi stabil jika ia dapat menjaga ketenangan emosinya. Sayangnya, hidup ini tak selalu berjalan seperti harapan kita.

Begitupun yang dialami adikku. 

Pengalaman Menyesakkan Saat Adikku  Terkena Schizho

Kejadian ini dimulai di pertengahan 2009. Tepatnya kapan, aku lupa, karena catatan-catatan yang kubuat hilang. Entah di mana. Jadi kubuat ini berdasar ingatanku saja. Meski mungkin tak sedetail kejadian yang kualami. Mungkin catatan-catatan itu hilang bersama kenangan yang sebenarnya ingin kulupakan. Tapi, kenangan-kenangan ini akan coba kuingat agar dapat kuceritakan di sini. Harapku, ini bisa jadi pengingat bagiku dan kamu bahwa hidup ini berharga. 

Baiklah, aku akan ceritakan dari kenangan yang kuingat saja ya..

Siang itu adikku pulang ke rumah dibawa oleh teman-teman kuliahnya, karena ia mengalami kecelakaan. Kami sekeluarga kaget dan cemas. Untungnya, ia terlihat baik-baik saja. Hanya kondisi motor yang agak rusak, dan kami bersyukur. Sungguh, kami nggak tahu kalau itu adalah titik awal perkenalan kami dengan schizho.

Sejak itu kejadian-kejadian yang membuat kami khawatir terus terjadi. Dari ia yang sering bengong, tidak fokus, dan sulit tidur. Ia bahkan pernah tidak tidur selama tiga hari hingga kadang ngomong sendiri. Sering mengatakan hal-hal yang nggak masuk akal. Tubuhnya juga terlihat lemah. Ia juga nggak peduli dengan kebersihan diri. Kami sungguh cemas. Sangat cemas.

Pengetahuan kami yang terbatas tentang gejala-gejala schizo menjadikan kami bingung dan takut. Seperti berjalan dalam gelap di atas jembatan rapuh dengan jurang curam di bawah kami. Apalagi melihat kondisi adikku yang makin mengkhawatirkan, aku kadang sering menangis tanpa sadar. Ia makin sulit diajak berkomunikasi, dan gampang marah. Ia bahkan pernah memukul kaca cermin hingga tangannya luka. Jantung kami rasanya mau copot melihatnya.

Bagaimana nggak? Adikku ini kami kenal sebagai anak yang kalem, rajin dan pintar. Nggak pernah macam-macam. Ia sering dapat beasiswa belajar. Saat kuliah S1 ia juga mendapatkan beasiswa hingga mamak nggak pusing dengan biaya kuliahnya. Sejak kuliah ia juga sudah mulai mengajar privat, dan memberikan uang hasilnya pada mamak. Anak yang manis, kan? Hingga perubahan-perubahan yang terjadi padanya bikin kami selalu khawatir dan terus berupaya demi kesembuhan adikku. 

Awal pengobatan adikku

Sebagaimana orang awam yang nggak paham dengan penyakit ini, kami pun berkonsultasi dengan banyak orang. Seorang teman mamak menganjurkan kami berobat ke orang pintar. Mbah Gemur di Pringsewu. Jadilah kami bolak-balik pergi ke Pringsewu untuk mengobati adikku dengan mengendarai motor.

Cobaan di tahun-tahun itu rasanya amat berat. Datang bertubi-tubi. Kondisi keuangan keluarga kami juga lagi nggak begitu baik. Ditambah adikku yang lain juga sakit. TBC selaput perut. Jadilah, kami mondar-mandir untuk mengobati dua adikku ini. Tapi, Allah itu baik. Meski sulit, ada aja yang mau menolong untuk meminjami kami uang. Kadang saat pulang dari rumah sakit, ada aja yang nganter sepiring sayur atau camilan. Kami selalu bersyukur pada Tuhan atas kebaikan-Nya.

Okeh, kembali ke adikku yang musti berobat ke mbah Gemur berulang kali. Tapi kami lihat kondisinya tak kunjung membaik. Padahal ritual sudah dilakukan. Dari mandi kembang, minum air dan ritual lain. Mamak juga mengajak adikku ini pergi ke orang pintar lain di Bandarlampung. Jujur aja, hati ini rasanya merasa ada yang salah dengan cara pengobatan ini. Tapi, kami berserah diri pada Allah. Berharap kebaikan Allah semata. Sayang, kondisi adik belum juga seperti yang kami harap. Jadi kami diskusi untuk mencari pengobatan lain. Lalu, berangkatlah kami ke Jawa. Berdasarkan saran keluarga, kami mengunjungi beberapa orang pintar di sana. Hingga sampai pada ucapan dari orang pintar tersebut bahwa adikku akan sembuh di Lampung.

Selanjutnya, kami pun pulang ke Lampung. Kami terus ikhtiar berobat kesana-kemari. Termasuk ke mbah Gemur dan dokter syaraf yang direkomendasikan teman-teman mamak. Well, setiap datang berobat mamak harus menyiapkan uang sebagai 'tanda'. Bukan pembayaran sih. Apa namanya aku lupa. Tapi, menurutku ya sama aja. Beda nama aja. Sayangnya, kami belum melihat perubahan berarti pada adikku. Malah makin memburuk. 

Nah, saat-saat menyedihkan ini berlangsung beberapa lama. Kami juga membawa adik ke psikiater dan dokter saraf di RS Bumi Waras. Aku lupa durasinya, hingga seorang teman yang jadi dokter di Rumah Sakit Jiwa di Pesawaran menganjurkan kami untuk memeriksakan adik ke sana. Kami pun membawa adik ke RSJ Pesawaran. Kemudian Adik diperiksa dokter dan divonis menderita Schizophrenia paranoid. Penyakit yang mungkin dianggap orang sebagai 'gila' karena penderita sering  terlihat ngomong sendiri.

Saat mendengar vonis dokter itu kami merasa lega, karena dokter bilang bahwa penyakit ini ada obatnya. Sebagaimana penyakit lain. Meski begitu, kami tidak menceritakan detail penyakit adik pada keluarga besar. Hanya sebagian keluarga inti yang tahu - demi menghindari pandangan buruk bagi adik dan keluarga kami.

Tapi kami tetap mencintaiku adik, dan yakin Tuhan tetap mencintai kami bagaimanapun kondisi kami. Rasa syukur kami tak berkurang dengan keadaan ini. Kami bahagia bahwa penyakit adik telah ditemukan obatnya.

Mamak yang kuat dan tabah juga terus mengingatkan adik dan kami semua tentang kasih sayang Allah, baik dalam diam dan doanya. Mamak terus membisikkan kata-kata dan doa - doa yang menyejukkan hati. 

Mamak pernah ngomong padaku begini, "Kita harus bersyukur pada Allah karena penyakit ini ada obatnya. Nggak usah peduli dengan pandangan orang lain. Kita harus tetap semangat." Lalu, aku pun mengulangi ucapannya jika mamak terlihat sedih. Kata-kata ini menguatkan kami saat melihat kondisi adik yang bikin hatiku tak karuan.

Alhamdulillah, perlahan kondisi adikku membaik. Ia pun bisa menyelesaikan kuliahnya ditengah masa pengobatannya. Tentu saja ditengah pengawasan ketat kami sekeluarga. Kami nggak pernah membiarkan ia sendiri. Ke mana pun ditemani. Bahkan ke kamar kecil. Jika terpaksa harus ditinggal sendiri di rumah, kami dengan sedih menguncinya di kamar. Bahkan saat ia wisuda S1, adikku yang lain terpaksa mewakilinya. Untungnya, mereka satu kampus dan wajah mirip. Jadi, semua bisa berjalan lancar. 

Selanjutnya, sampai hari ini secara rutin kami menemaninya berobat jalan ke Rumah Sakit Jiwa. Sebulan sekali. Ia juga bisa beraktivitas mengajar di Bekasi layaknya orang biasa. Hingga kejadian bulan Maret kemarin yang mengakibatkan ia harus resign dari pekerjaannya. Entahlah, kami sih terserah ia saja. Katanya ia nggak mau ngajar di sana lagi karena malu. Meski aku terus mendorongnya untuk terus bekerja supaya ia punya kegiatan dan lebih percaya diri. Kami juga mendorongnya untuk menyelesaikan tesisnya yang hampir selesai. Jadilah, ia menyelesaikan tesisnya sambil ngomong sendiri. Aku hanya bisa ngurut dada dan prihatin. Aku nggak tahu gimana perasaan suami adikku. Kami berdoa semoga ia selalu sabar dengan cobaan ini.

Aku selalu berkata pada adikku, "It's okey to be Schizophrenia, Tuhan tetap mencintaimu. Berbahagialah." Bukankah cinta Tuhan tak terbatas? Nggak ada yang bisa mencegah cinta Tuhan untuk kita. Atas izin Allah,  kita bisa melakukan self healing dengan cara yang terbaik. Mengingat Allah. Bersyukur atas semua karunia dan nikmatnya


Diskusi


Bicara tentang F20 atau yang biasa dikenal dengan sebutan Schizophrenia paranoid yang diderita adikku sejak tahun 2009an mungkin lekat dengan berbagai stigma yang ada di masyarakat. Hal yang bikin aku prihatin.  Apalagi, sekarang ini kulihat di Rumah Sakit Jiwa makin banyak saja pasiennya. 

Meski pengetahuanku mengenai Schizophrenia hanya berdasar pengalaman emosional saja, aku yakin bahwa penderita Schizo pun bisa sembuh. Tak tergantung pada obat.

Aku juga ingin meluruskan stigma negatif terkait penderita Schizophrenia yang dianggap sebagai pengganggu. Penderita Schizophrenia, menurutku, sama seperti penderita penyakit lain, Butuh perhatian ekstra dan kasih sayang serta penerimaan dari orang-orang sekitarnya. Insha Allah, dengan terpenuhinya kebutuhan penderita F20 sesuai dosisnya, baik obat medis dan dukungan sekitar, penderita bisa hidup dengan kualitas yang baik.


Bandarlampung, 18 Agustus 2020




4 comments:

  1. Masya Allah.. schizophrenia... Salah satu kondisi mental yang aku selalu ingin tahu lebih dalam.

    Keluarga harus support banget ya mbak.. semangaaat.. Allah kasih ujian karena tahu hambaNya mampu menjalaninya.

    ReplyDelete
    Replies
    1. terima kasih mbak supportnya.. moga Allah memberi kita semua kekuatan.. Aamiin

      Delete
  2. Suka sedih stigma masyarakat yang selalu memandang rendah, orang2 yang pergi ke psikiater atau psikolog. Padahal kesehatan mental bukan sepenuhnya penyakit, gangguan yang banyak sekali penyebabnya dan semua orang bisa mengalami.

    Salut untuk keluarga besar yang mendampingi adiknya mba, semoga lekas sembuh dan dapat beraktifitas seperti semula, aamiin.

    ReplyDelete
  3. Alhamdulillah..alliswel mbak. Sekarang adik udah lulus tesnya. Semoga bisa sehat selalu n beraktivitas seperti biasa. Aamiin..tq doanya mbak

    ReplyDelete

And The Mountains Echoed: Harapan dalam Keputusasaan

Manaar tergeletak di kasur tipis, butut dan bau   di antara kasur-kasur serupa di ruangan sempit itu. Tubuhnya kurus dengan benjolan membesa...