Sunday 26 July 2020

Renungan Guru di Masa Pandemi

Masalah pendidikan di tengah pandemi ini memaksa para pelaku dunia pendidikan dan semua yang terlibat di dalamnya untuk lebih peka dengan persoalan peserta didik. Apalagi ditambah beban hidup yang makin kompleks akibat pandemi yang memaksa peserta didik untuk belajar di rumah. Solusi yang membutuhkan solusi lain.

Bagaimana tidak?

Solusi belajar di rumah ini menimbulkan masalah baru bagi orang tua peserta didik, baik dari segi finansial maupun mental. Aspek signifikan yang perlu diperhatikan oleh semua pihak terkait. Termasuk guru.

Mengapa kubilang demikian?

Ilustrasinya sih sederhana. Anggap saja kita adalah wali murid dari tiga orang anak yang bersekolah. Ketiganya perlu fasilitas belajar untuk mengerjakan tugas online dari guru-guru di sekolah, seperti: laptop/ hp dan kuota internet. Belum lagi wali murid yang masih harus membayar administrasi sekolah, meski anak-anak tidak belajar di sekolah. Alhasil, wali murid memiliki beban sebagai guru bagi anak -anak yang harus belajar di rumah. Hal yang tak mudah karena harus membagi waktu dengan mencari penghasilan tambahan karana beban ekstra tersebut.

Sayangnya, hanya sebagian guru yang menyadari dan peka atas masalah ini. Hingga mereka begitu kaku dalam pemberian tugas bagi peserta didik. Hal yang dapat memberatkan peserta didik.

Jujur, aku sebagai guru merasa malu dengan catatan Renungan KBM Selama Pandemi yang tersebar di grup Wa. Catatan yang membuatku berpikir tentang kinerjaku sebagai guru yang belum maksimal. Belum bisa memberikan KBM yang terbaik pada peserta didikku. Memberikan hak mereka. Padahal aku telah mendapatkan hakku sebagai tenaga pengajar. 

RENUNGAN KBM DALAM SITUASI PANDEMI COVID-19

Tadi aku ke warnet, mau cetak sticker. Ada anak laki2 usia 12 thn, (usia anak SMP) bawa beberapa lembar kertas buku tulis yg disobek. Isinya tulisan2 seperti draft tugas sekolah.

Dia tanya sama operator warnet, kalau ngetik draft ini dan ngeprint, berapa harganya. Kata si operator, biayanya sekitar 24 rb. Biaya ngetik dan biaya ngeprint.

Begitu tau biayanya 24 rb.. anak itu diam... melongo. Di tangannya aku liat, dia hanya memegang uang 5 ribuan.

Terlihat di wajahnya.. antara bingung dan ngga tau harus bagaimana. Di satu sisi, tugas dari sekolah harus dikerjakan, di satu sisi, ngga ada uang untuk ngeprint.

Anak itu pulang, dan janji akan kembali lagi. Tapi kertas tugasnya ditinggal.
Aku  minta kertas2 tersebut, dan aku baca. Ternyata tugas dari sekolahnya, membuat laporan kegiatan belajar di rumah selama pandemi berlagsung. 

Aku baca hingga selesai draft tersebut. Tata bahasanya bagus dan inti pokoknya juga tepat. Dia sampaikan  beberapa kendala selama belajar di rumah. Hp hanya ada 1 milik ayahnya, sementara yg harus belajar menggunakan hp ada 3 orang. (Dia dan dua adiknya). Kebayang kan..? 

Aku bilang sama si operator, tolong diketikkin dan di print, nanti saya yang bayar. Ngga lama kemudian, si anak tadi datang, dan bilang sama si operator, meminta kembali draft yang tadi.

Si operator bilang, bahwa tugasnya sedang diketik dan akan diprint. Anak itu bilang, tapi saya ngga ada uangnya... Dan si operator bilang, udah ada yg bayarin. 

(Aku tadi sudah bilang ke operatornya, bahwa anak tsb ngga usah tau... siapa yg bayar)

Di sini, aku bukan mau riya pamer bayarin, tapi.. kebayang nggak... berapa banyak anak yang mengalami hal seperti ini?

Di saat orang tuanya kesulitan menutupi biaya hidup, ditambah lagi beban pulsa paket, beban ngetik tugas, ngeprint tugas..?

Kepada guru2... coba dipertimbangkan lagi. Memberi tugas memang harus, tapi disituasi seperti sekarang ini... ? Kasihan anak2 tsb, mereka takut kalau tidak mengerjakan tugas, tapi untuk mengerjakan tugas itu butuh biaya yang tidak sedikit.

Semoga  Allah segera mengangkat wabah ini sehingga mereka bisa kembali ke bangku sekolah, tanpa membebani orang tuanya dengan beban mengajar dan  pengeluaran2 ekstra....
.
.
Selamat Hari Anak Nasional
23 Juli 2020
(Andik Susilo Hadi)


Membaca teks ini membuatku malu. Sungguh malu. Lalu, aku pun berpikir untuk mencari solusi dari masalah ini. Hal sederhana yang sekiranya dapat membantuku untuk  menunaikan kewajibanku dan membantu peserta didik menyerap pelajaran dengan cara yang lebih mudah.

Aku pun mendiskusikan masalah kesulitan siswa mengikuti pembelajaran daring karena kendala kuota yang tak dapat disediakan orang tua. Beberapa opsi jawaban yang diberikan membuatku sedikit kecewa, seperti :

1. Tak ada alasan bagi orang tua untuk tidak mengupayakan fasilitas bagi anak, karena hal itu kewajiban orang tua.

2. Terkait kuota kan sebagai ganti fasilitas transport siswa.

3. Siswa dapat datang ke sekolah untuk belajar menggunakan fasilitas sekolah.

Mengapa aku sedikit kecewa?

Bukan. Itu bukan karena opsi yang diberikan tidak benar. Tapi, aku ngerasa sepertinya jawabannya terasa kurang peka dengan keadaan siswa. Entahlah. Sementara opsi jawaban lain dapat dipertimbangkan oleh manajemen sekolah, seperti:

1. Mendatangi siswa dari rumah ke rumah untuk memberikan pembelajaran

2. Membentuk kelompok belajar untuk pelaksanaan KBM terpadu, atau

3. Memberikan pembelajaran di sekolah dengan sistem sift.

Pilihan solusi lain juga dapat dilakukan demi mengatasi masalah sensitif terkait pendidikan anak. Kebijakan yang harus tepat, dan cepat mengingat urgensi dari masalah ini.

Bayangkan aja?!

Siswa didik yang biasanya dapat belajat bersama guru di sekolah, dan menerima pendidikan yang tak dapat diberikan orang tua di rumah, sekarang banyak yang berkeliaran di jalan atau sekedar rebahan seharian di rumah. Sementara akses guru untuk mengajar terjebak oleh kegagapannya dengan teknologi. Hasilnya, aku ngerasa anak didikku makin sulit diatur.

Gimana nggak? Sementara guru sibuk belajar untuk menggunakan sistem pembelajaran daring, anak-anak juga sibuk main sendiri. Tak ada yang mengajar karena guru hanya sekedar memberikan tugas untuk melepaskan tanggung jawabnya.

Entahlah, apakah sistem ini sudah cukup relevan dengan situasi dan lingkungan siswa. Apakah siswa dan guru sudah siap? Apakah teknologi ini cukup membantu atau justru membuat beberapa siswa kesulitan? Padahal, bukankah seharusnya teknologi itu memudahkan manusia?

Entahlah, kepalaku ngenyut mikirinnya..


Selanjutnya, aku bersyukur bahwa sistem pendidikan daring di sekolahku akan dikombinasikan dengan tatap muka mulai Senin besok, 27 Juli 2020. Menggunakan sistem sift dan protokol kesehatan Covid yang ketat.  Hal yang kuharap dapat membantu guru dan peserta didik dalam menghadapi masalah KBM yang signifikan ini. 

Memang sih, akan muncul kendala lain yang tak mudah diatasi. Apalagi Bandarlampung masih masuk dalam zona kuning,dan sekolahku yang posisinya dekat dengan pasar temper yang relatif ramai. Sebuah tantangan bagi guru dan peserta didik serta semua yang terlibat di sekolah untuk taat aturan protokol kesehatan Covid, seperti: jaga jarak, rajin cuci tangan dan memakai masker atau face-shield.

Jadi, mengingat rentannya masalah ini , baik masalah pendidikan siswa dan kesehatan manusia - perlu kesadaran semua pihak yang terkait untuk selalu patuh pada peraturan yang ada. Tanpa kecuali. Harapannya, dengan menjalani aturan yang ada, pandemi ini lekas berlalu, dan pembelajaran akan dapat berlangsung seperti biasa lagi. Semoga.

Bandarlampung, 26 Juli 2020

No comments:

Post a Comment

And The Mountains Echoed: Harapan dalam Keputusasaan

Manaar tergeletak di kasur tipis, butut dan bau   di antara kasur-kasur serupa di ruangan sempit itu. Tubuhnya kurus dengan benjolan membesa...