Saturday 11 July 2020

Guru: Model Perbaikan Karakter Bagi Peserta Didik

"Wahai, manusia, saya tidak menyuruh Anda melakukan tindakan, melainkan mula-mula saya sendiri melakukannya mendahului Anda, saya tidak akan mencegah Anda dari sesuatu melainkan saya mencegahnya dahulu dari diri saya." (Ali bin Abi Thalib)

Kutipan di atas kuambil dari buku Puncak Kefasihan, sebuah master piece abadi milik Ali bin Abi Thalib. Seorang pemuda ahli surga. Pemisah antara kebenaran dan kebatilan. Seorang yang di tangannya pernah berkibar bendera keberanian sejak usianya masih belia.

Figur abadi kebaikan yang sulit dicari bandingannya. Baik dalam segi keberanian, kemurahan hati, dan pengetahuan. Sehingga, pantaslah kiranya kita sematkan namanya di hati kita sambil melafazkan shalawat. Allahuma sholi ala sayidina Muhammad wa ala Ali sayidina Muhammad.

Semoga Allah merahmati kita semua syafaat. Aamiin.

Nah, bicara tentang figur suri tauladan yang juga dikenal sebagai pintunya ilmu ini tak akan pernah habis. Figur seorang guru yang relevan dijadikan teladan bagi guru di era digital yang mulai tenggelam dengan hiruk pikuk media sosial. Hal yang juga digeluti peserta didik zaman now.

Imbasnya, guru zaman now terkesan lebih sibuk. Berusaha mengikuti perkembangan teknologi yang bergerak dengan cepat. Melupakan bahwa produktivitas guru zaman now bisa tenggelam dan terjebak di pusaran kemajuan teknologi.

Mengapa kubilang begitu?

Mungkin akan lebih mudah jika kuceritakan pengalamanku sebagai guru di sekolah, ya? Sebagaimana aku dan teman-teman berusaha untuk mengejar ketertinggalan kami demi perbaikan pembelajaran di kelas.

Bahkan, kami sering harus mengikuti pelatihan pembelajaran terbaru dengan teknik/ metode terbaru. Sayang, saat kembali ke sekolah, kami tak bisa mengaplikasikan metode baru tersebut karena belum siapnya sarana dan prasarana sekolah. Akibatnya, kami tetap mengajar menggunakan teknik/metode lama. Seolah pelatihan hanya formalitas saja.

Sayang, kan?

Tapi, begitulah kenyataannya. Belum ada sinergi berkesinambungan yang mendukung kemajuan pembelajaran bagi peserta didik.

Keadaan ini membawa gap antara ekspektasi guru untuk mengaplikasikan ilmu barunya, dan realitas kesiapan sekolah untuk mendukung guru tersebut. Sebut saja, aku dan tiga orang temanku yang lulus ppgdj di Unila tahun 2018 lalu yang nggak bisa optimal mengaplikasikan ilmu kami di sekolah. Gimana nggak, kembali ke kelas kami lebih banyak berkutat ngurusin administasi (tagihan) siswa yang seharusnya jadi tugas TU. Belum lagi tugas lain yang menumpuk seperti persiapan ujian, akreditasi, perpisahan, lsp, bkk, dan lain-lain. Pekerjaan tambahan yang bikin guru meninggalkan tugas mengajarnya. Hal yang bikin kami sebagai guru merasa berdosa karena lalai dengan tugas mengajar. Tapi, mau bagaimana? Semua harus dikerjakan dengan deadline tertentu. Hasilnya, ya, peserta didik yang jadi korban. Mereka sering ditinggalkan oleh guru. Hingga muncul yang namanya jamkos, jam kosong.

Hal yang seharusnya tidak terjadi jika ketersediaan guru mencukupi agar tak terjadi double job.

Tapi, ya, alasan efisiensi guru dan keuangan jadi pertimbangan. Hingga kekosongan guru pun diantisipasi dengan guru yang ada. Jadilah, peserta didik menerima ilmu dari guru yang bahkan nggak ngerti mau ngajar apa. Boro-boro mau bikin mereka pinter, guru tersebut kadang frustasi dan ngajar ala kadarnya saja. Sekedar menggugurkan tanggung jawab.

Nah, itu yang pernah kualami di sekolahku. Untungnya, sekarang sih mulai sedikit berbenah. Sekolah sudah mulai memikirkan untuk menambah formasi guru yang linear. Sekaligus mengurangi double job. Aku pun tahun ajaran baru ini hanya dapat 25 jam dari yang biasanya antara 32 atau 33 jam. Alhamdulillah.

Belajar dari pengalaman masa lalu kami yang kelam karena sering menelantarkan siswa. Evaluasi pun terus dilakukan meski aku juga heran kenapa bisa seorang guru hanya kasih catatan, lalu dengan santuy nya nongkrong di kantor. Rasanya ingin kujitak jidatnya. Sungguh bukan teladan yang baik.

Kadang guru model begini (malas ngajar) tidak pernah dapat tugas tambahan. Ya, piye. Datang saja malas, masuk kelas ogah, gimana dengan tugas ekstra? Bisa bubar deh.

Selanjutnya, aku pun jadi introspeksi diri. Evaluasi diri. Apakah aku sudah jadi guru yang baik? Apakah aku sudah cukup berusaha?

Evaluasi diri yang buat aku lebih berhati-hati karena aku masih belajar untuk jadi guru yang baik.

Guru Teladan sepanjang masa

Kesadaranku sebagai fakir ilmu dan awam atas banyak hal ini menumbuhkan semangatku untuk membaca tentang manusia pilihan ini. Ali bin Abi Thalib.

Sementara kita dilengkapi dengan karakter yang cenderung pada kesia-siaan. Sifat manusia pilihan ini bersih. Maksum. Terhindar dari dosa.

Bahkan karakternya pun memiliki keistimewaan. Sebagaimana tertulis dalam buku Nahjul Balaghah.

Berbeda dengan karakter alami yang dimiliki Ali bin Abi Thalib yang mencakup tiga point. Sebagaimana yang dikatakan asy-Syafi'i, " Apakah yang dapat kukatakan tentang orang yang di dalam dirinya terdapat tiga sifat dengan tiga sifat lainnya, yang tidak pernah terdapat bersama-sama dalam diri siapa pun lainnya - kemurahan hati dengan kesusahan, keberanian dengan kebijaksanaan, dan ilmu pengetahuan dengan prestasi amaliah." (Puncak Kefasihan)

Masya Allah, sungguh figur teladan guru yang dapat membangun karakter peserta didik.

Aku yakin, dengan menjadikan Ali bin Abi Thalib sebagai idola dibandingkan selebrita di medsos, kita akan temukan diri kita selamat. Dunia dan akhirat.

Bandarlampung, 11 Juli 2020



No comments:

Post a Comment

And The Mountains Echoed: Harapan dalam Keputusasaan

Manaar tergeletak di kasur tipis, butut dan bau   di antara kasur-kasur serupa di ruangan sempit itu. Tubuhnya kurus dengan benjolan membesa...