Monday 18 May 2020

Review HardBook Vs e-Book: Manakah Yang Lebih Mudah Bagi Siswa?


Keep light and overtake (Ali bin Abi Thalib)

Seperti yang kita pahami, menuntut ilmu adalah kewajiban. Tentunya hal itu tak terlepas dari harapan kita agar hidup lebih mudah dan menyenangkan.

Nah, salah satu cara untuk membuat hidup lebih mudah adalah dengan menciptakan produk inovasi, teknologi buatan. Produk yang tercipta dari proses belajar yang berkelanjutan. Tentunya dengan terus memperbaiki kompetensi / kemampuan, mengevaluasi diri dalam menyelesaikan masalah.

Penyelesaian masalah yang timbul dalam kehidupan ditawarkan dalam banyak bentuk; sederhana/mudah, sedang, atau kompleks/ rumit. Proses yang disesuaikan dengan masalah yang ada, seperti: proses bikin buku/ kertas, makin rumit proses pembuatannya, makin innovative hasilnya. Begitu pun sebaliknya.

Seperti isi buku yang kompleksitas masalah yang ditulis dan dibahas akan mempengaruhi value buku tersebut. Memberikan manfaat lebih yang dapat membantu kita menyelesaikan masalah. 


Buku juga merefleksikan keadaan zaman, perubahan yang dinamis di kalangan masyarakat terutama dunia pendidikan. Hal yang dapat menstimulus percepatan perubahan manusia ke arah yang lebih baik.

Dalam perkembangannya, buku juga menjadi catatan penting yang dapat digunakan pelaku penting di kelas untuk mengembangkan diri. Pelaku pendidikan yang langsung bersentuhan dengan buku, guru dan siswa yang berproses bersama demi meraih tujuan pembelajaran yang telah direncanakan.

Dalam proses pembelajaran sesuai standar pencapaian belajar,  seorang siswa membutuhkan bimbingan orang tua, ustad/ ustazah, guru atau trainer/ mentor. Tujuannya agar proses berjalan secara sistematis, efisien dan terukur. Proses panjang yang butuh pengorbanan waktu, tenaga, dan uang. Juga kolaborasi dari semua aspek masyarakat.

Untuk mempermudah proses training/ pembelajaran, guru dan anak/ siswa tentu saja membutuhkan sarana belajar,  buku sebagai sumber materi belajar. Buku yang berisi kurikulum pembelajaran, materi, dan teknis pembelajaran.

Buku yang dalam proses perkembangannya terus berubah sesuai perkembangan zaman. Perubahan zaman dari yang serba konvensional/ manual hingga digital yang praktis dan mudah. Perubahan yang menuntut guru dan siswa untuk terus belajar dan belajar.

Perubahan zaman yang dipengaruhi oleh berkembangnya teknologi buatan yang bertujuan mempermudah kita menjalani aktivitas sehari-hari juga mempengaruhi buku. Perubahan yang terlihat dari bentuk, isi, ataupun penggunaan buku.

Produk artificial inteligency yang mengubah human behaviour termasuk dalam proses pembelajaran yang melibatkan buki terus memaksa pelaku pendidikan untuk merubah konsep pembelajaran di kelas. Sederhananya sih, seperti mengubah penggunaan buku tebal yang berat dengan gawai ringan. Produk teknologi yang membantu proses belajar hanya dalam satu sentuhan jari saja.

Produk yang memunculkan efek signifikan bagi pengguna, terutama bagi siswa. Efek yang memaksa siswa untuk merubah cara belajar.

Pada dasarnya, siswa yang notabene adalah generasi Z ini tidak mengalami banyak kesulitan untuk mengikuti perubahan zaman. Generasi Z, terutama siswa SMK yang kuajar adalah generasi yang cerdas. Mudah beradaptasi dengan teknologi baru.

Aku sih sering memperhatikan anak-anak ini bergelut main game dengan gawainya selama  berjam-jam dengan asyik, meski di jam pelajaran. Bahkan ada yang bisa bikin applikasi game dan menghasilkan uang bulanan. 

Sayangnya, generasi Z yang kuajar ini (SMK) tidak memiliki kecenderungan membaca buku teks. Maksudku, anak-anak SMK ini lebih tertarik dengan dunia praktik. Beberapa menganggap praktik lebih menantang dibanding membaca yang hanya sekedar teori. Konsep ini tertanam mungkin karena tujuan siswa masuk SMK adalah untuk bekerja.

Apa pun opini siswa (SMK) tersebut, membaca buku itu penting untuk mempermudah proses belajar. Buku yang dapat menyimpan teknis  dan tulisan untuk dipelajari dan praktekkan. Ilmu praktis yang berguna di dunia kerja.

Sebagai guru, aku sih tidak bisa membayangkan mengajar dan belajar tanpa buku. Betapa sulitnya harus mengingat semua yang kupelajari. Apalagi dengan keterbatasanku. Artinya, akan banyak hal yang tanpa sengaja akan hilang atau terlupakan. Sedih kan membayangkan ilmu menghilang? Apalagi hanya karena tak ada catatan dalam bentuk tulisan dalam buku. Apapun bentuknya.

Aku beruntung mendapati teknologi yang akhirnya menghasilkan kertas atau yang terbaru sekarang ini, e-book. Kebayang kan repotnya bawa buku dari daun, batu atau kain yang berat, langka, mahal atau mudah rusak itu. Pastinya, banyak dari kita yang sulit untuk mengakses buku-buku model jadul itu.

Aku sebagai guru SMKS, sadar dengan keterbatasan SDM guru (di tempatku), baik dalam segi kuantitas maupun kualitas. FYI, banyak guru SMK yang ngajar mapel tidak linear dengan bidang keilmuannya, misalnya: guru Fisika ngajar otomotif, guru PKN ngajar Bahasa Indonesia, guru MTK ngajar TIK. Itu pun diperparah dengan sumber ajar mapel produktif (otomotif, listrik TIK dll) yang terbatas. Plus jam mengajar yang mencapai lebih dari 30 jam. Beberapa mengajar lebih dari 40 jam! Alhasil, guru SMK kelelahan dengan tugasnya mencari bahan mengajar dan jam mengajar yang padat. Belum lagi kalo harus mengurus anak yang bolos, berantem, dan alpa. Bahkan guru pun harus mengurus tugas tambahan seperti: BKK, LSP atau kegiatan rutin ujian, perpisahan atau kegiatan lain. Untungnya sih,  guru jadi lebih banyak belajar dan dapat uang tambahan. Meski belum juga dapat memenuhi kebutuhan buku sebagai bahan ajar.

Mengingat hal tersebut, kemudahan dari ketersediaan buku sangat membantu guru dalam proses belajar. Guru nggak perlu teriak-teriak ngajar di kelas yang siswanya cowok semua untuk mengajar. Siswa dapat membuka buku dan belajar mandiri atau kelompok dengan bimbingan guru. 

Anyway, aku nggak akan bicara tentang hal yang belum kupahami. Aku hanya tahu kalau e-book itu lebih kekinian dan murah dibanding hardbook yang terbuat dari kertas. Dua jenis buku yang punya implikasi unik bagiku sebagai guru dalam menjalankan proses belajar bersama siswa di ruang kelas. Aku juga nggak akan cerita tentang masalah harian di kelas, seperti: sebagian besar siswa di kelas hanya bawa badan aka tidak bawa buku dan pen. Semuanya ditinggal di kelas dan sering hilang. Entah siapa yang ambil. So, awal belajar pasti disibukkan dengan lebih siswa yang pinjam buku, pen atau alasan lain. Well, aku nggak akan cerita itu. Aku hanya akan cerita tentang pengalamanku terkait hardbook dan e-book. Itu aja.

Nah, agar lebih afdol, aku akan ceritakan sedikit tentang sejarah kertas yang berhasil kucatat.

Sejarah kertas

Kertas yang awalnya ditemukan di abad kedua di Cina oleh Cai Lun. Saat itu Cina ada di bawah pemerintahan dinasti Han dengan Kaisar Ho-Ti sebagai penguasa. 

Kertas yang aksesnya masih terbatas di kalangan istana dan pelajar. Hanya sebagian kecil orang biasa yang bisa mengakses kertas pada zaman itu.

Proses pembuatan kertas pun masih dirahasiakan hingga para pembuat kertas tersebut tertawan dan membocorkan rahasia tersebut di tahun 751. Hingga menyebarlah kertas di seluruh dataran Eropa dan ditemukannya mesin pencetak kertas oleh Johann Gutenberg.

Lalu muncullah ide e-book oleh Brown di tahun 1930an gara-gara ia nonton sebuah moving-film. Ia ingin bisa membaca dengan cepat.

"To continue reading at today's speed, I must have a machine." (Brown, 1930)

Impian Brown terwujud 40 tahun kemudian, yaitu: di tahun 1971 dengan diluncurkannya Project Gutenberg dan didigitalkannya Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat oleh Michael S. Hart. Ini dianggap sebagai e-book pertama di dunia.

Kemudian di 1998 muncul  empat kejadian yang berkaitan dengan e-book
1. E-book pertama kali diluncurkan
2. ISBN e-book pertama kali diperoleh
3. Perpustakaan AS pertama kali meluncurkan e-book gratis melalui layanan website
4. Google didirikan oleh Larry Page dan Sergey Brin


Hingga di tahun 2013 penjualan e-book mengalahkan penjualan buku dengan keuntungan sekitar 3 juta dollar. Sekitar 20% dari total penjualan.

Perubahan zaman yang diikuti perkembangan artificial inteligency tak mungkin bisa dihindari. Akibatnya, mau tidak mau sistem pembelajaran pun harus mengikuti. Tujuannya agar proses belajar jadi lebih innovative dan efisien.

Implikasi dari hal ini tentunya adanya perubahan di hampir semua aspek pendidikan. Penggunaan sistem manual pun mulai dialihkan ke sistem komputerisasi digital, seperti: dapodik, e-raport, dss, Rumah Belajar, dll. Perubahan yang memaksa semua unsur terkait untuk bersinergi/ berkolaborasi untuk membantu percepatan peningkatan kualitas belajar siswa.

Penggunaan Hardbook vs E-Book 

Euforia penggunaan e-book yang mulai muncul di tahun 2007 saat peluncuran Kindle e-book reader Amazon di AS mengubah behavior belajar siswa dan guru. Menciptakan peluang belajar yang lebih luas. 

Sayangnya untuk implementasi di sekolahku sendiri,  kemudahan penggunaan e-book belum dibarengi dengan ketersediaan fasilitas gawai dan akses internet. Keterbatasan akses e-book ini jadi kendala krusial dalam proses belajar siswa dan guru (jika harus menggunakan e-book).

Meski zaman digital sekarang menuntut guru dan siswa untuk memggunakan e-book yang lebih ramah lingkungan, belum semua sekolah siap untuk memfasilitasi (terutama sekolahku).

Menurut data update sekolahku, dari sekitar 1.009 siswa hanya 30% yang punya gawai dan akses rutin internet. Sedangkan akses hardbook bisa mencapai 75%. Perbandingan mencolok mengingat masih rendahnya daya dukung sekolah. 

Bahkan beberapa siswaku (yang punya gawai) masih merasa kesulitan untuk belajar menggunakan e-book karena belum terbiasa. Mereka lebih nyaman menggunakan hardbook. 

"E-book nggak bisa dicoret-coret dan dibolak-balik. Nggak kerasa bacanya." Itu kata sebagian besar siswaku.

Aku hanya tertawa mendengarnya. Apalagi dengan sikap mereka yang lebih senang main game di gawainya daripada baca e-book. Alasannya pening. Lebih enak hardbook.

Terkadang, aku memaksa siswa untuk membaca e-book dalam proses belajar. Harapannya agar mereka terbiasa. Problem yang muncul adalah keluhan tidak punya gawai, kuota atau baterai lemot. Akhirnya, aku kembali ke hardbook.

Jadi kupikir-pikir sih, terlepas apapun bukunya, yang penting anak jadi lebih mudah belajar. Bukan jadi lebih sulit.  Bukankah teknologi itu mempermudah hidup kita? Mungkin, butuh proses dan paksaan keadaan untuk percepatan sebuah perubahan. 

Seperti pandemi yang memaksa percepatan penggunaan teknologi buku digital di ruang kelas daring. E-book yang gratis dan murah.  Solusi yang mungkin sesuai dengan konsep guru merdeka, siswa senang, dan target belajar tercapai.

Bandarlampung, 17 Mei 2020

4 comments:

  1. Kombinasi penggunaan antara ebook dan hardbook sepertinya paling optimal utk diterapkan dlm proses pembelajaran sekarang ini. Karena meniadakan salah satunya itu agaknya kurang pas.

    ReplyDelete
  2. Bener mbak karena masing-masing bisa saling melengkapi sumber ajar^^

    ReplyDelete
  3. Aku kayak pernah baca buku ini tapi lupa dimana. Hehehe serasa ngga asing gitu. Alhamdulillah bisa baca reviewnya di sini sebagai pengingat

    ReplyDelete
  4. Terimakasih reviewnya mba..

    ReplyDelete

And The Mountains Echoed: Harapan dalam Keputusasaan

Manaar tergeletak di kasur tipis, butut dan bau   di antara kasur-kasur serupa di ruangan sempit itu. Tubuhnya kurus dengan benjolan membesa...