Monday 22 June 2020

Review Buku Lukisan Keabadian karya Kahlil Gibran



Mungkin sudah banyak yang familiar dengan Sang Nabi dari Lebanon yang bagai matahari di zamannya ini. Kahlil Gibran, seorang penyair yang sangat concern dengan eksistensi manusia sebagai bagian dari semesta luas ciptaan Sang Khalik ini. Seorang penyair yang mengingatkanku akan penyair Iqbal dan Rumi. 

Penyair yang lahir di tahun 1883 ini menciptakan karya-karya abadi yang membumi. Penuh dengan amarah dan kritis sekaligus kekaguman akan dunia ini hingga ia tenggelam dan mabuk dalam kefanaan ini. Hingga keabadian ini diraih melalui pemikiran yang mengkristal di lubuk hati pecintanya.

Sebagaimana buku karya Khalil Gibran "Lukisan Keabadian" ini menohok zona pikirku yang terlanjur ada di zona nyaman. Zona yang melenakanku hingga lupa hingga bertemu dengan buku ini. Lagi. Membuatku kembali ingat dan memohon ampun pada Allah atas kelalaianku. Astagfirullah.

"Manusia begitu tergantung pada perkara profan yang membekukan bagai salju. Tapi aku mendamba pendar cahaya cinta kasih yang kan menyucikan hati dan menghanguskan ketamakan dengan apinya." (hal.4)

Kutipan puisi ini merefleksikan betapa manusia itu sering meributkan hal-hal yang di permukaan terlihat serius. Lalu, melupakan perkara signifikan yang seharusnya diselesaikan. Sedangkan seorang pemikir sufi ini telah melepaskan kesenangan dunia. Ia berusaha menyucikan diri sebersih-bersihnya demi meraih cinta kasih Tuhan. Bebas dari ketamakan yang tanpa batas ini.

Sementara itu, Iqbal pun menjelaskan betapa sebagian cara pikir sebagian manusia itu keliru. Bahkan selalu berusaha mencari pembenaran atas yang dilakukan dengan dalih memberi kebaikan pada orang lain karena menyerahkan harapan mahluk lain akan pahala.

"...Dan apabila bukan karena saya tiada 'kan didirikan rumah ibadat, tiada menara atau istana. Akulah api keberanian yang membangun ketetapan hati.. Akulah sumber buah pikiran yang asli. ..Akulah tangan yang menggerakkan tangan manusia.... Akulah setan yang hidup abadi. Akulah setan yang selalu diperangi agar manusia selalu diperangi agar manusia dapat hidup lestari. Jika mereka menghentikan perlawanan terhadapku, kecerobohan bakal mematikan pikiran, perasaan dan jiwa, sesuai hukuman mitos besar mereka."

Kata-kata yang seolah membenarkan keberadaan penjahat di tengah masyarakat. Pendapat yang menyatakan bahwa seorang polisi seharusnya melestarikan keberadaan penjahat demi lestarinya pekerjaan mereka. Bahkan berterima kasih pada penjahat karena berkat mereka polisi punya pekerjaan dan harapan masa depan yang baik. 

Sudut pandang setan yang terluka dan hampir mati hingga ia memohon belas kasihan pada sang  pendeta ini mengingatkanku akan cerita dialog antara setan dan Tuhan yang pernah kubaca. Kisah yang kurang lebih menyatakan tentang kebaikannya membantu Tuhan menguji ketaatan manusia. Menurut setan, ia bisa menyortir manusia karena ia tak bisa menggoda manusia-manusia yang tulus ikhlas. Berkat dirinya, hanya manusia-manusia hina yang jatuh dan terjerembab bersamanya di neraka. Abadi.

Sang pendeta yang sejenak ragu ini pun luluh dengan argumentasi setan atas kebermanfaatan eksistensinya di dunia ini. Dalam pemikiran sang pendeta, umat manusia akan tenggelam dalam kenyamanan dan lupa pada Tuhan jika mereka tak lagi harus berperang melawan setan. Bukankah sebagian doa-doa yang meluncur dari bibir-bibir pendoa adalah agar dijauhkan dari godaan setan. Nah, jika setan mati, maka manusia akan berhenti beribadah. Mereka mungkin akan melupakan gereja-gereja dan masjid-masjid. Kenapa harus beribadah, sementara alasan beribadah telah mati? Lalu, sang pendeta pun berusaha menyelamatkan setan dengan susah payah demi menyelamatkan iman manusia.

Kritik tulisan ini jelas bersentuhan dengan keyakinan seorang anak manusia. Bagaimana sudut pandang rasional yang diambil sang pendeta adalah yang paling mungkin kita ambil. Padahal cara pandang ini masih melekatkan sesuatu dari hal yang sifatnya material. Padahal alasan penciptaan dunia ini adalah semata-mata karena Allah, untuk menyembah Allah. Beribadah karena Allah. Bukan beribadah karena sekedar melepaskan diri dari godaan setan. 

Penghambaan mahluk juga bukan pada  benda-benda atau pada yang mewakili. Meski manusia pun terus larut tanpa sadar. Bahkan tertipu oleh manisnya anggur dunia dan berharap abadi di dalamnya. 

Memang sih, tak ada salahnya menikmati manisnya dunia ini sebagaimana seorang kafilah yang melakukan perjalanan menuju tujuannya. Ia tak akan berlama-lama meski tempat itu indah dan makanannya enak. Ia hanya sejenak singgah dan segera bergegas melanjutkan perjalanan pulang ke rumah. Seberapa menyenangkannya pun tempat singgah, manusia akan rindu pulang (kembali pada Allah melalui kematian).

Ada juga dialog antara Najib dan Aminah yang juga membuka mataku tentang pemahaman 'kebenaran'. Sebuah dialog tentang Tuhan dan iman. Bahwa sesungguhnya indra pun dapat meraih keberadaan Tuhan karena imannya. Sebagaimana "Mustahil bagi danau yang untuk memperhatikan di kedalamannya bayangan gunung mana pun, jikalau tidak berada di dekat danau itu". (hal. 183). Bukankah yang tak ada tak bisa menghadirkan yang ada?

Well, membaca sambil merenungkan  tentang kedalaman buku karya Sang Nabi dari Lebanon ini pastilah akan memperkaya khazanah batin kita. Mengatupkan kembali keping cinta yang tercecer demi rasa cinta pada Tuhan dan alasan penciptaan dunia ini. Semoga buku ini bisa jadi inspirasi kebangkitan pemikiran kita. So, yuk baca lagi..

Salam literasi^^

Judul buku  : Lukisan Keabadian
Judul asli      : A Treasury of Kahlil Gibran
Penulis         : Kahlil Gibran
Penterjemah : Dewi Chandraningrum
Penyunting    : Saat Langit Lembayung
Desain Cover : Hitam Studio
Penerbit          : Fajar Pustaka Baru
Tebal                : 297 halaman


Bandarlampung, 22 Juni 2020

No comments:

Post a Comment

And The Mountains Echoed: Harapan dalam Keputusasaan

Manaar tergeletak di kasur tipis, butut dan bau   di antara kasur-kasur serupa di ruangan sempit itu. Tubuhnya kurus dengan benjolan membesa...