Tuesday 5 May 2020

Review Rumi The Book of Love: Poems of Ecstasy and Longing


If you want what visible reality can give,
you 're an employee
If you want the unseen world, 
you're not living your truth

Both wishes are foolish,
but you'll be forgiven for forgetting
that what you really want is
Love is a confusing joy.

-Rumi

Rumi adalah sosok legenda yang namanya dilekatkan dengan tokoh sastrawan dunia lain, Muhammad Iqbal. Tokoh ini bahkan datang sebagai pengagum Rumi. 

Iqbal menulis tentang karya Rumi  ini bagai berjalan di padang hijau misterius. Sekali kita tenggelam di dalamnya, kita akan enggan untuk kembali ke permukaan. Meski kita harus terus berjuang untuk tak tersesat. 

Kalaupun harus dianggap tersesat (menurut banyak pandangan orang kebanyakan), kita tahu apa yang kita lakukan. Mungkin itulah yang terpenting.

Well, itu menurutku.

Lalu, saat kubaca preface yang ditulis oleh penulis buku ini, Coleman yang mengatakan, 

" the human reality and not the melodrama, that region of being, is described in the Heart Sutra, the central text of Zen, as having "no eyes, no ears, no nose, no tongue, no body, no mind, and no consciousness." 

(kehidupan nyata dan bukan melodrama, keadaan menjadi, digambarkan dalam Heart Sutra, pusat teks dari Zen, sebagai kondisi tanpa mata, tanpa telinga, tanpa hidung, tanpa lidah, tanpa tubuh, tanpa pemikiran, dan tanpa kesadaran). Nothingness.

Keadaan yang menurutnya dapat diperoleh setelah kamu mati. Budha's Heart Sutra, tambahnya, dapat dicapai dengan mengilangkan eksistensi dirimu dalam ketiadaan. Segalanya meresap dalam pusat ekstasi di mana visi-hati dimulai.

Bingung? Aku juga. Tapi, mari kita lanjutkan pelan-pelan ya. No worry. Aku pun tipe yang praktical hingga penggunaan kata-kata dalam tulisanku pastinya sangat sederhana. Supaya aku pun mengerti apa yang kutulis. 

Prinsipku kan kesederhanaan tapi bermakna. Ini sebenarnya bentuk pengakuanku bahwa dibanding apa pun mungkin aku tak lebih berarti. Hanya fakir yang terus berusaha belajar. Berharap tak mati di tengah kehausan dan kelaparan. Padahal hidup di tengah mata air kehidupan.

Dalam pandangan Coleman, puisi-puisi Rumi diperdengarkan sebagai puisi cinta. Puisi yang menghadirkan kegetiran jiwa yang merana, dan semua aliran emosi yang mederas melalui rumah tamu kesadaran.

Selanjutnya aku pun teringat ucapan seorang guruku yang mengajar sastra dulu. Ia bilang begini, "Seorang sastrawan yang dikenang karyanya adalah yang karyanya berwarna kematian, kemurungan, kesedihan, kehilangan, penyesalan dan penderitaan." 

Mungkin maksudnya adalah bahwa kehidupan manusia ini tak akan terlepas dari penderitaan. Sisanya adalah warna lain yang berujung sama. Sebagaimana seorang perantau, berjuang mencari bekal untuk kehidupannya yang lebih baik saat ia pulang. 

Mungkin ia bahagia dalam perantauan. Tapi ia akan lebih bahagia saat pulang. Atau kalaupun ia menderita di perantauan, ia akan bahagia saat waktu pulang (kematian) tiba.

Kematian yang akhirnya menjemput Rumi saat langit memerah dan matahari tenggelam, 17 Desember 1273. Bumi bergetar seperti perut kelaparan. "Patient, old earth!" ("Sabarlah bumi yang tua!") Jerit Rumi. "You'll have your sweet morsel soon!" (Kamu akan dapatkan morsel manismu segera!).

Sekilas tentang Rumi

Rumi lahir di Balkh, sebuah kota kecil sebelah barat Mazar-i Sharif in Afghanistan, 30 September 1207. Ayahnya, Bahaudin adalah seorang mystic yang terpandang. 

Menghindari kejaran tentara Mongol Genghis Khan, keluarga ini hidup berpindah-pindah, dari Waksh (Tajikistan), Samarkhan, Damascus, lalu menetap di Konya di pusat Anatolia. 

Setelah kematian Bahaudin, Rumi belajar pada murid ayahnya, Burhanuddin Muhaqqiq. Bersamanya, Rumi mempelajari The Maarif, Sanai dan Attar. Burhan yang seorang hermit (petapa) eksentrik yang tak peduli dengan keyakinan dan garis keturunan.

 Ia membimbing Rumi kecil menjalani chillas (49 hari puasa menyendiri). Seolah mempersiapkan Rumi untuk menempuh kehidupan mystic-nya, sebelum ia bertemu dengan Shamsi Tabriz. Seseorang yang mempengaruhi kehidupan Rumi selanjutnya.

Beberapa dialog yang memesona yang masih relevan sekarang, "I did not want to live what was not life. Living is so dear." ( Aku tidak ingin kehidupan yang tidak menghidupkan. Kehidupan itu begitu berharga).  Juga kata-kata dalam catatan jiwa Bahaudin,

 "Now you must live what you've been reading and talking about." (Sekarang kamu harus hidup sesuai yang telah kamu baca dan katakan selama ini).

Wah, dialog yang menohok. Dialog Shams dan Rumi, menurutku, menjelaskan dengan gamblang akan pentingnya aktualisasi dalam tindakan dari pengetahuan dan ucapan kita agar kehidupan kita bermanfaat.

Puisi-puisi Rumi yang menenggelamkan diri dalam ekstasi rasa cinta ini membebaskan. Sebagaimana ini bukanlah agama. Puisi ini hanyalah bentuk cinta yang dinyanyikan dengan ekstasi kerinduan yang dalam. Candu yang memabukkan.

Essensi cinta mengenal Rumi didedikasikan oleh Nanao Sakaki, seorang pendeta Budha dalam puisinya Go With Muddy Feet

Go With Muddy Feet

When you hear dirty story
Wash your ears
When you see ugly things
Wash your eyes
When you get bad thoughts
Wash your mind
And
Keep your feet muddy

Puisi yang menyiratkan atas penyucian diri dan kesadaran diri. Usaha terus-menerus tanpa lelah untuk terua memperbaiki diri dan tetap ingat siapa dirinya. 

Puisi Rumi yang kusuka cukup banyak, tapi akan kutulis salah satu. Puisi ini menyiratkan tentang cinta yang begitu dalam melebihi atas kecantikan itu sendiri. Tenggelam di dalam dada. Menari-nari meski tak ada yang mengetahui. Menggelora. Hingga cinta itu terwujud dalam karya yang indah. Seni yang akan selalu dikenang sepanjang zaman.

In Your Light I learn how to love
In your beauty, how to make poems

You dance inside my chest
Where no one see you,

but sometimes I do,
and that sight becomes this art

Baca ini bikin baper ya? Apalagi aku ingat seorang artis legenda Raja Patah Hati, Didi Kempot baru meninggal kemarin. Memang sih mereka beda zaman dan segmen penikmat karyanya.

 Namun cinta menggelora itu pasti akan melahirkan seni indah yang abadi. Seni. Produk cinta yang akhirnya menyatukan. Meski tak ada yang dapat melihatnya lagi. Ia abadi. Benar, kan?

Sebenarnya, tak akan usai membahas tokoh Rumi yang bagai mata air ini dalam review sederhana yang lebih mirip coretan ini. Namun, harapanku ini akan jadi awal untuk menulis lagi dan lagi. Bukankah awal yang buruk itu lebih baik daripada tidak berani memulai? 

How could you worry?
You may as well free a few words from your vocabulary..

-Rumi

Bandarlampung, 5 May 2020



No comments:

Post a Comment

And The Mountains Echoed: Harapan dalam Keputusasaan

Manaar tergeletak di kasur tipis, butut dan bau   di antara kasur-kasur serupa di ruangan sempit itu. Tubuhnya kurus dengan benjolan membesa...